Sabtu, 18 September 2010

struktur sedimen

SUSUNAN INTERNAL DAN STRUKTUR SEDIMEN
4.1 TINJAUAN UMUM DAN KLASIFIKASI
Berbeda dengan tekstur yang sebaiknya diamati pada sampel genggam atau sayatan tipis, struktur sedimen merupakan gejala yang sebaiknya diamati atau dipelajari pada singkapan. Tekstur berkaitan dengan hubungan antar butir dan akan terlihat dengan jelas di bawah mikroskop; struktur berkaitan dengan satuan-satuan yang lebih besar dan lebih jelas terlihat di lapangan. Dengan demikian, pemelajaran struktur sama tuanya dengan penelitian geologi. Struktur seperti lapisan silang-siur, gelembur, dan lekang kerut telah dijelaskan dalam tulisan-tulisan lama yang dibuat oleh para ahli geologi.
Struktur sedimen primer (primary sedimentary structure) digunakan sebagai indikator agen dan/atau lingkungan pengendap-an. Struktur sedimen tertentu seperti graded bedding dan lapisan silang-siur digunakan untuk menentukan urut-urutan stratigrafi dalam strata yang miring, vertikal, atau strata yang telah terbalik (Shrock, 1948). Akhir-akhir ini, struktur terarah (directional structure) dipakai untuk memetakan arus purba serta untuk menentukan kelerengan purba (paleoslope) dan jurus sedimentasi (sedimentary strike) (Pettijohn, 1962; Pettijohn & Potter, 1963). Para ahli juga memberi perhatian khusus pada struktur biogenik (iknofosil) yang dapat berperan sebagai indikator lingkungan pengendapan. Berbeda dengan fosil tubuh (body fossil), struktur biogenik (biogenic structure) tidak rentan terhadap perombakan atau pengangkutan (Seilacher, 1964a). Terakhir, para ahli untuk kesekian kalinya menelaah kembali struktur arus dan kondisi-kondisi aliran yang membentuknya (Middleton, 1965).
Meningkatnya kembali ketertarikan para ahli terhadap struktur sedimen muncul sebagai efek samping dari pemelajaran sedimen modern dan pemetaan arus purba. Penelitian-penelitian itu telah mendorong diterbitkannya sejumlah monograf mengenai berbagai aspek struktur sedimen, misalnya atlas struktur sedimen (Khabakov, 1962; Potter & Pettijohn, 1964; Ricci Lucchi, 1970), manual struktur sedimen (Conybeare & Cook, 1968), serta monograf tentang struktur sedimen (Gubler dkk, 1966). Selain itu ada pula karya tulis yang khusus membahas kategori struktur sedimen tertentu, terutama struktur bidang perlapisan bawah (sole marks) (Vassovich, 1953; Dzulynski & Sanders, 1962; Dzulynski, 1963; Dzulynski & Walton, 1965) serta mengenai iknofosil dan struktur biogenik (Abel, 1935; Lessertisseur, 1955; Seilacher, 1964b). Perlu juga diketahui bahwa telah terbit berbagai proceedings simposium mengenai struktur sedimen primer dan tafsiran hidrodinamikanya (Middleton, 1965). Selain itu, tidak sedikit pula makalah yang membahas tentang struktur sedimen tertentu serta perlapisan (Andrée, 1915; Zhemchuzhnikov, 1940; Bruns, 1954; Birkenmajer, 1959; Botvinkina, 1959, 1962). Bahkan, sekarang telah terbit pula sebuah manual untuk mempelajari struktur sedimen, terutama sedimen yang ditemukan dalam sedimen bahari modern (Bouma, 1969).
Sejalan dengan makin meluasnya ketertarikan pada terhadap struktur sedimen, ada beberapa ahli yang mencoba untuk menyusun sistem tatanama dan skema klasifikasi struktur sedimen. Ada dua ancangan yang dapat digunakan untuk meng-golongkan struktur sedimen: (1) ancangan morfologi; dan (2) ancangan genetik. Dengan ancangan pertama, para ahli mencoba untuk menggolongkan struktur sedimen berdasarkan bentuk atau geometrinya serta tempatnya dalam lapisan sedimen (pada bidang perlapisan atau dalam lapisan). Klasifikasi genetik mengelompokkan struktur sedimen berdasarkan proses-proses yang terlibat dalam pembentukannya, misalnya menjadi kelompok sedimen biogenik, hidrodinamik, dan rheologi (Nachtegaal, 1965; Elliott, 1966). Klasifikasi genetik didasarkan pada satu asumsi bahwa kita telah mengetahui secara pasti asal-usul setiap struktur sedimen. Asumsi seperti itu sudah barang tentu tidak selalu dapat terpenuhi. Selain itu, sebagian struktur sedimen demikian kompleks sehingga tidak mudah untuk menentukan asal-usulnya. Ada pula struktur sedimen yang pembentukannya melibatkan lebih dari satu proses. Contohnya adalah sidik seruling (flute cast) dan gelembur pasir (sand ripple) yang dikenai oleh deformasi pembebanan tidak lama setelah struktur itu terbentuk. Di lain pihak, penggolongan yang murni didasarkan pada morfologi bukan tidak mengandung masalah. Gelembur dapat dianggap sebagai struktur pada bidang perlapisan, namun gelembur juga dapat memunculkan diri sebagai laminasi silang-siur mikro yang terletak pada tubuh lapisan. Bahkan lekang kerut sekalipun dapat berperan sebagai struktur pada bidang perlapisan atas, struktur pada bidang perlapisan bawah, maupun struktur dalam tubuh lapisan. Penggolongan yang murni bersifat morfologi (Conybeare & Crook, 1968) agak artifisial dan dapat menyebabkan termasukkannya sejumlah struktur yang asal-usulnya beragam ke dalam satu kategori yang sama. Skema penggolongan yang murni bersifat morfologi dapat membantu kita dalam mengenal struktur sedimen, namun skema seperti itu tidak memberikan tambahan apapun pada pengetahuan kita.
Sebenarnya, akan lebih bermanfaat apabila kita menggunakan skema klasifikasi gabungan: genetik sekaligus morfologi. Mungkin akan lebih baik apabila kategori utama dari struktur sedimen merupakan kategori genetik, sedangkan kategori sekunder merupakan kategori morfologi. Dengan pemikiran seperti itu, struktur sedimen dapat dibedakan menjadi tiga kategori utama: yakni struktur sedimen fisik (mechanical sedimentary structures; physical sedimentary structures), struktur sedimen kimia (chemical sedimentary structures), dan struktur sedimen biogenik (biogenic sedimentary structures; organic sedimentary structures). Struktur fisik pada dasarnya merupakan struktur sedimen primer yang terbentuk pada saat pengendapan. Struktur fisik dapat merupakan struktur hidrodinamik (hydrodynamic sedimentary structures) yang terbentuk oleh arus atau struktur reologi (rheologic sedimentary structures) yang terbentuk akibat hydroplastic synsedimentary deformation. Struktur kimia terbentuk akibat proses-proses diagenetik pasca-pengendapan. Struktur biogenik terbentuk oleh organisme pada saat sedimennya diendapkan. Karena struktur kimia terbentuk setelah pengendapan dan karena umumnya tidak berkaitan dengan proses-proses sedimentasi, maka pembahasan mengenai struktur kimia akan disajikan pada Bab 12.
Secara umum, struktur sedimen tidak berkaitan dengan komposisi batuan atau litologi. Lapisan silang-siur dapat terbentuk dalam setiap material granuler yang tidak kohesif, tanpa tergantung pada apakah material itu berupa pasir kuarsa atau pasir karbonat. Graded bedding dan struktur bidang perlapisan bawah sering ditemukan bukan saja dalam beberapa kategori batupasir, namun juga dalam beberapa kategori batugamping. Lapisan silang-siur dan gelembur hanya terbentuk dalam material granuler non-kohesif, sedangkan lekang kerut hanya terbentuk dalam lumpur kohesif. Stromatolit, dengan beberapa pengecuali-an istimewa, hanya muncul dalam batuan karbonat. Walau demikian, preservasi struktur sedimen sangat tergantung pada komposisi batuan. Struktur sedimen yang terbentuk pada permukaan lumpur argilit biasanya akan terekam sebagai cetakan di bagian bawah batupasir yang menindihnya. Walau demikian, apabila lumpur itu merupakan lumpur karbonat, struktur tersebut akan dipertahankan dan akan terlihat pada perlapisan atas lumpur karbonat itu. Karena itulah mengapa sebagian besar foto lekang kerut yang dipublikasikan selama ini menyajikan lekang kerut modern dalam lumpur argilit modern, sedangkan foto fosil lekang kerut biasanya berasal dari batugamping.
4.2  PERLAPISAN
Struktur sedimen primer yang hampir universal adalah perlapisan (bedding) atau stratifikasi (stratification). Bahkan, istilah “batuan berlapis” (stratified rocks) sebenarnya hampir sinonim dengan istilah “batuan sedimen” (sedimentary rocks), meskipun beberapa jenis sedimen tertentu seperti tillite, tidak memiliki stratifikasi internal dan meskipun beberapa jenis batuan beku tertentu, misalnya aliran lava, memperlihatkan gejala stratifikasi.
Perlapisan atau stratifikasi ditampilkan oleh satuan-satuan batuan yang secara umum berbentuk tabuler atau lentikuler. Setiap satuan batuan itu memiliki keseragaman litologi atau struktur sedemikian rupa sehingga berbeda dengan satuan lain yang berdampingan dengannya. Payne (1942) menggunakan istilah stratum untuk menamakan suatu layer “yang tebalnya lebih dari 1 cm… [dan] dapat dibedakan secara visual dari lapisan lain yang terletak di atas dan dibawahnya berdasarkan litologi, adanya bidang fisik yang secara tegas memisahkan keduanya, atau oleh keduanya.” Istilah laminasi (lamination) digunakan untuk satuan strata yang mirip dengan stratum, namun ketebalannya kurang dari 1 cm. Payne (1942) lebih jauh mendefinisikan beberapa istilah yang sering digunakan untuk mencandra strata—yakni fissile, shaly, flaggy, dan massive—serta menyatakan limit-limit ketebalan untuk setiap istilah tersebut. McKee & Weir (1953) mencoba untuk memisahkan istilah-istilah yang dipakai untuk menyatakan ketebalan strata dengan istilah-istilah yang dipakai untuk menyatakan sifat penyubanan (splitting properties). Sebagaimana Payne (1942), McKee & Weir (1953) menamakan semua satuan strata yang ketebalannya kurang dari 1 cm sebagai laminasi, sedangkan satuan strata yang lebih tebal dari 1 cm disebut lapisan (bed). Lapisan yang ketebalannya 1–5 cm disebut lapisan sangat tipis; lapisan yang tebalnya 5–60 cm disebut lapisan tipis; lapisan yang ketebalannya 60–120 cm disebut lapisan tebal, sedangkan lapisan yang tebalnya lebih dari 120 cm disebut lapisan sangat tebal. Jika lapisan-lapisan itu terpecah-pecah ke dalam beberapa satuan yang ketebalnnya lebih kurang sama, maka lapisan-lapisan itu berturut-turut dikatakan flaggy, slabby, blocky, dan massive. Apabila pecah, strata yang lebih tipis dari lapisan dikatakan berlaminasi (laminated) atau, jika setiap pecahan itu ketebalannya kurang dari 2 mm disebut berlaminasi halus (thinly laminated).
Otto (1938) mencoba untuk mendefinisikan dua satuan yang memiliki kebenaan genetik, yakni satuan sedimentasi (sedimentation unit) dan laminasi. Satuan sedimentasi didefinisikannya sebagai “ketebalan sedimen yang diendapkan di bawah kondisi-kondisi fisik yang relatif konstan”. Aliran arus di alam tidak pernah benar-benar seragam. Karena itu, misalnya saja, tidak ada satupun sedimen yang disusun oleh partikel-partikel yang ukurannya persis seragam. Sebenarnya ada arus yang meng-endapkan ukuran partikel tertentu. Arus itu memiliki kecepatan rata-rata tertentu dan mengendapkan partikel dengan ukuran rata-rata tertentu untuk selang waktu tertentu. Satuan sedimentasi terbentuk pada selang waktu itu. Ketika arus berubah secara radikal, dan terbentuk suatu kondisi aliran baru, maka akan terbentuk satu satuan sedimentasi baru. Sudah barang tentu ada fluktuasi kecepatan arus dalam waktu singkat dan arus itulah yang bertanggungjawab terhadap pembentukan laminasi atau “fasa” (Apfel, 1938) yang sedikit berbeda dengan laminasi lain yang berdampingan dengannya. Suatu layer pasir berlapisan silang-siur, misalnya saja, merupakan suatu satuan sedimentasi. Layer itu diendapkan pada kondisi yang pada dasarnya seragam. Arus pengendap layer itu memiliki kecepatan dan arah yang relatif seragam untuk satu selang waktu tertentu. Laminasi silang-siur merupakan rekaman fluktuasi kecepatan arus secara lokal dalam waktu singkat. Satuan lapisan silang-siur kedua yang terletak di atas lapisan silang-siur pertama, baik yang orientasinya sama maupun berbeda dengan lapisan silang-siur pertama, merupakan satuan sedimentasi lain yang terpisah dari satuan lapisan silang-siur pertama serta merekam suatu episode pengendapan baru yang berbeda dengan sebelumnya.
Menurut Otto (1938), pembedaan antara satuan sedimentasi dengan laminasi bukan terletak pada ketebalannya. Lapisan tahunan atau warwa pada danau proglacial Plistosen, meskipun umumnya memiliki ketebalan lebih dari 1 cm, namun sebagian diantaranya memiliki ketebalan kurang dari 1 cm. Karena itu, mungkin kurang logis apabila kita menggolongkan sebagian warwa sebagai lapisan dan sebagian lain sebagai laminasi. Padahal, semuanya itu merupakan satuan sedimentasi. Karena bagian warwa yang relatif tebal dan terutama disusun oleh lanau dan pasir umumnya berlaminasi, agaknya kita perlu membedakan laminasi dengan warwa dan, oleh karena itu, antara lapisan dengan laminasi berdasarkan aspek lain selain ketebalan arbitrer yang telah ditentukan sebelumnya.
Meskipun satuan sedimentasi merupakan sebuah konsep yang bermanfaat, namun konsep itu sukar untuk diterapkan pada beberapa tipe batuan. Demikian pula, konsep itu sukar untuk diterapkan pada banyak situasi. Konsep itu lebih tepat diterapkan pada batuan klastika berbutir kasar, bukan pada batuan yang terbentuk secara kimiawi atau biologi.
Para ahli telah memberikan perhatian yang cukup banyak terhadap geometri bedding units serta pada karakter dan kebena-an bidang perlapisan yang memisahkan satuan-satuan itu. Lapisan dicandra sebagai lapisan planar jika bidang pembatasnya sejajar dengan limit-limit singkapan dan disebut lentikuler (lenticular) apabila bidang-bidang pembatasnya konvergen. Bidang pembatas lapisan juga bisa tidak beraturan (irregular). Istilah-istilah seperti wavy, bahkan lumpy dan noduler (nodular), dipakai untuk menamakan lapisan-lapisan yang menebal di suatu tempat dan menipis di tempat lain, bahkan pada lapisan-lapisan yang terdisintegrasi menjadi beberapa lensa atau nodul. Keteraturan suatu sekuen berlapis dapat dicandra berdasarkan keseragaman ketebalan lapisan-lapisan penyusunnya serta berdasarkan kesinambungan lateral dan keseragaman ketebalan individu-individu lapisan itu. Dengan dasar pemikiran itu, kita mengenal adanya empat tipe sekuen berlapis:
  1. Sekuen yang disusun oleh lapisan-lapisan yang ketebalannya sama atau hampir sama; berkesinambungan secara lateral dengan ketebalan yang lebih kurang tetap.
  2. Sekuen yang disusun oleh lapisan-lapisan yang ketebalannya tidak sama, namun berkesinambungan secara lateral dengan ketebalan yang lebih kurang tetap.
  3. Sekuen yang disusun oleh lapisan-lapisan yang ketebalannya tidak sama, namun berkesinambungan secara lateral dengan ketebalan yang bervariasi.
  4. Sekuen yang disusun oleh lapisan-lapisan yang ketebalannya tidak sama, tidak berkesinambungan secara lateral, dan memiliki ketebalan yang bervariasi.
Perlapisan dapat diukur. Karena itu, hingga tingkat tertentu, aspek-aspek umum dari lapisan dapat dikuantitikasikan. Schwarzacher (1953) dan Fiege (1937) menunjukkan bahwa ketebalan individu-individu lapisan pada banyak sekuen, khusus-nya turbidit dan endapan piroklastik jatuhan yang berukuran halus (debu), secara logaritmik bersifat normal (lihat gambar 4-1 dan 4-2). Secara umum, meskipun tidak berarti universal, kekasaran partikel penyusun batuan memiliki kaitan dengan ketebalan lapisan (gambar 4-3). Hubungan seperti itu terlihat juga dalam strata silang-siur (Schwarzacher, 1953) serta dalam turbidit pasir (Fiege, 1937; Potter & Scheidegger, 1966). Pada kasus pasir turbidit dan endapan piroklastik jatuhan berukuran halus, baik partikel kasar maupun ketebalan lapisan sama-sama berkurang ke arah hilir (Scheidegger & Potter, 1971). Dengan demikian, geometri perlapisan merupakan sebuah sarana penting untuk membedakan fasies proksimal dengan fasies distal dalam endapan-endapan itu. Log normal ataupun tidak, ketebalan lapisan sangat menceng ke arah lapisan tipis. Bokman (1957) mengusulkan suatu skala geometris, yang disebut skala theta, yang cenderung menormalisasikan distribusi ketebalan yang semula menceng dengan cara yang lebih kurang analog dengan peranan skala phi pada kasus distribusi besar butir.
Para ahli telah sejak lama mengetahui bahwa bidang perlapisan mungkin merekam suatu interval non-pengendapan, bahkan pada kasus tertentu mungkin merekam erosi. Rumpang seperti itu disebut diastem (Barrell, 1917). Diastem mungkin merekam rentang waktu yang lebih panjang dibanding batuan yang diapitnya.
4.3  SUSUNAN INTERNAL DAN STRUKTUR LAPISAN
4.3.1  Perlapisan Masif
Lapisan jarang yang tidak mengandung struktur atau kemas internal. Batuan yang tampak tidak mengandung struktur seperti itu disebut lapisan masif (massive beds). Foto-foto sinar-X dari batuan yang tampak masif menunjukkan bahwa sebagian besar dari apa yang disebut sebagai batuan masif itu sebenarnya mengandung laminasi internal (Hamblin, 1965). Karena itu, batuan yang benar-benar masif mungkin sangat jarang ditemukan di alam.
4.3.2  Laminasi
Banyak lapisan memperlihatkan laminasi internal. Dalam banyak lapisan, laminasi itu sejajar dengan bidang pembatasnya. Pada lapisan lain, laminasi itu miring ke arah bidang pembatas. Sudut kemiringan laminasi itu pada beberapa kasus sangat landai (1–10o), sedangkan dalam kasus lain cukup curam (10–35o, bahkan lebih). Laminasi yang disebut  terakhir ini dinamakan lapisan silang-siur dan merupakan salah satu ciri khas dari pasir. Laminasi pada material itu hanya merekam fasa-fasa transisi atau fluktuasi minor dalam kecepatan arus pengendap.
Laminasi merupakan satu karakter paling khas dari sedimen berbutir halus, terutama batulanau dan serpih. Laminasi muncul sebagai perselingan material yang berbeda besar butir atau komposisinya. Laminasi pada umumnya memiliki ketebalan 0,5–1,0 mm. Laminasi dapat menerus maupun tidak menerus, serta dapat jelas maupun samar. Contoh-contoh laminasi adalah laminasi yang terbentuk oleh perselingan material kasar dengan material halus (lanau atau pasir halus dengan lempung), perselingan lapisan-lapisan lanau yang berwarna terang dengan lapisan-lapisan lanau yang berwarna gelap akibat perbedaan material penyusun lanau itu, serta perselingan kalsium karbonat dengan lanau.
Laminasi terbentuk akibat adanya variasi laju pasokan atau laju pengendapan material yang berbeda-beda. Variasi itu sendiri dinisbahkan pada pergeseran arus pengendap secara kebetulan, pada iklim (khususnya perubahan mendaur yang berkaitan dengan ritme harian atau tahunan), serta pada banjir atau badai yang tidak bersifat periodik. Pembaca yang ingin mengetahui lebih jauh kondisi-kondisi yang diperlukan untuk pembentukan dan preservasi lapisan tahunan serta kriteria untuk mengenalnya dapat membaca karya tulis Bradley (1929) dan Rubey (1930).
Sebagian serpih memperlihatkan laminasi yang sangat baik; sebagian lain justru tidak mengandung laminasi. Contoh paling sempurna dari serpih berlaminasi baik adalah serpih endapan danau. Laminasi yang juga terlihat cukup jelas, meskipun tidak sejelas seperti yang terlihat dalam endapan danau, dapat ditemukan dalam batulumpur yang terpecah-pecah serta dalam sedimen terestrial lainnnya. Karbonat endapan dataran pasut juga berlaminasi baik. Sedimen-sedimen seperti itu, apabila telah kompak, disebut laminit (laminite).
Kesempurnaan dan derajat preservasi laminasi merupakan ukuran dari ketenangan massa air dimana endapan itu ter-akumulasi. Adanya arus dasar, meskipun sedikit, dapat menghancurkan laminasi yang telah terbentuk dalam endapan. Karena itu, laminasi seringkali merekam pengendapan di bawah alas gelombang (wave base). Kesempurnaan laminasi dalam lempung juga berkaitan dengan salinitas air. Elektrolit tertentu, terutama natrium klorida, memicu terjadinya flokulasi (flocculation) atau symmixis. Flokulasi menyebabkan terjadinya pencampuran partikel-partikel lanau dan lempung dan, pada gilirannya, tidak memungkinkan terbentuknya laminasi sedemikian rupa sehingga endapan yang dihasilkannya relatif homogen. Stratifikasi dalam suatu batuan juga dapat terhancurkan oleh organisme pemakan material organik yang ada dalam lumpur. Proses pemakanan yang berulang-ulang dapat menyebabkan terubahnya endapan serta terhancurkannya sebagian atau semua laminasi. Karena hal itu hampir universal, maka preservasi laminasi mengindikasikan laju pengendapan yang sangat tinggi atau kondisi dasar yang beracun dan menghambat perkembangan fauna bentos. Di bawah kondisi-kondisi yang disebut terakhir ini, individu-individu laminasi yang setipis kertas dapat terawetkan dan dapat ditelusuri keberadaannya hingga jarak beberapa kilometer (Anderson dkk, 1972).
Secara umum, makin tipis laminasi, makin lambat laju akumulasinya. Hal itu jelas terlihat dalam laminasi berpasangan (paired laminations) yang terbentuk pada interval waktu yang sama, misalnya dalam satu tahun.
4.3.3  Susunan dan Struktur Internal
Setelah dimensi umum—ketebalan dan penyebaran—struktur internal suatu lapisan merupakan sifat terpenting dari lapisan (gambar 4-4). Ada dua tipe utama struktur internal: (1) lapisan silang-siur; (2) graded bedding. Meskipun struktur-struktur itu terutama berkembang baik dalam lapisan batupasir, namun keduanya dapat muncul pula dalam batuan yang lebih kasar dan lebih halus dari batupasir, termasuk dalam batugamping yang diendapkan secara mekanik. Bailey (1930) menyatakan bahwa struktur-struktur itu praktis tidak dapat muncul dalam satu lapisan yang sama karena keduanya mencirikan dua fasies peng-endapan yang berbeda sama sekali.
4.3.4  Lapisan Silang-Siur dan Gelembur
Lapisan silang-siur (cross-bedding) dan gelembur (ripple mark) umumnya dipandang sebagai dua fenomena yang tidak berkaitan. Lapisan silang-siur dianggap sebagai gejala internal suatu lapisan, sedangkan gelembur dianggap sebagai struktur yang berkembang pada bidang perlapisan. Sebenarnya, kedua struktur itu memiliki kaitan yang erat dan keduanya merupakan dua aspek yang berbeda dari satu hal yang sama. Lapisan silang-siur merupakan produk migrasi gelembur besar (megaripple) atau sand wave; lapisan silang-siur berskala kecil (ripple bedding) merupakan produk migrasi gelembur.
Secara umum, gelembur merupakan sebuah struktur berskala kecil. Panjang gelombang gelembur hanya beberapa centi-meter dan tingginya hanya beberapa milimeter. Walau demikian, pada lingkungan-lingkungan tertentu, dapat berkembang gelembur raksasa (giant ripple). Gelembur besar itu memiliki panjang gelombang beberapa meter atau lebih—pada beberapa kasus panjang gelombangnya beberapa puluh meter—dengan amplitudo beberapa puluh centimeter. Gelembur dengan ukuran sepertii tu pernah ditemukan dalam alur pasut (van Straaten, 1950; Off, 1963) dan sungai (Sunborg, 1956). Masih dipertanyakan apakah struktur terbesar yang bentuknya mirip dengan gelembur merupakan gelembur atau bukan. Benda seperti itu sering disebut gumuk (dune) atau sand wave (Carey & Keller, 1957). Gumuk memiliki sisi hulu yang sangat landai (biasanya hanya 1o atau 2o) dan permukaannya sering ditutupi oleh gelembur arus (current ripple) yang berukuran relatif kecil.
Meskipun gelembur skala kecil memiliki banyak kemiripan dengan sand wave atau gumuk, dan meskipun migrasi struktur-struktur menghasilkan lapisan silang-siur yang juga banyak memperlihatkan kemiripan, namun pembahasan gelembur dalam buku ini dipisahkan dari pembahasan sand wave atau gumuk. Hal itu dilakukan antara lain karena gelembur merupakan struktur berskala kecil yang umumnya terlihat pada bidang perlapisan, sedangkan sand wave tidak seperti itu. Selain itu, pemisahan tersebut juga didasarkan pada adanya perbedaan mendasar dalam proses-proses fisik pembentukan kedua tipe struktur itu (Allen, 1963). Untuk menekankan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, istilah gelembur digunakan untuk menamakan bed-form berskala kecil, sedangkan istilah sand wave atau gumuk digunakan untuk menamakan bedform berskala besar. Selain itu, istilah ripple bedding digunakan untuk menamakan laminasi silang-siur mikro (micro-cross-lamination) yang dihasilkan oleh migrasi gelembur, sedangkan istilah lapisan silang-siur digunakan untuk menamakan struktur yang terbentuk sebagai hasil migrasi gumuk.
Laminasi silang-siur atau lapisan silang-siur telah mendapatkan perhatian yang demikian besar dari para ahli geologi. Struktur itu memungkinkan dilakukannya analisis kuantitatif. Laminasi silang-siur dan lapisan silang-siur juga sangat bermanfaat dalam analisis arus purba.
Lapisan silang-siur merupakan struktur khas dari pasir—material granuler non-kohesif, apapun komposisinya. Lapisan silang-siur—yang disebut juga laminasi silang-siur (cross-lamination), current bedding, perlapisan diagonal (diagonal bedding), atau perlapisan palsu (false bedding)—merupakan satu tipe struktur yang sukar untuk didefinisikan. Bagi sebagian ahli, struktur itu hanya berarti perlapisan yang miring—perlapisan dengan initial dip yang tinggi. Walau demikian, istilah lapisan silang-siur dalam buku ini digunakan secara terbatas untuk menamakan perlapisan internal yang disebut perlapisan perenggan (foreset bedding) yang miring, relatif terhadap bidang akumulasi utama, di dalam satu satuan sedimentasi. Definisi itu, yang membatasi lapisan silang-siur sebagai struktur internal dari suatu lapisan, menyebabkan perlapisan miring yang terbentuk dengan cara lain—misalnya perlapisan gisik (beach bedding), perenggan-perenggan delta (delta foresets), dan perlapisan akresi lateral (lateral accretion bedding)—tidak termasuk ke dalam kategori lapisan silang-siur. Definisi di atas tidak tergantung pada skala. Suatu lapisan silang-siur dapat memiliki ketebalan mulai dari 3 mm hingga lebih dari 30 m.
Definisi di atas banyak digunakan oleh para ahli dan dapat diterapkan pada kebanyakan dari apa yang selama ini disebut sebagai lapisan silang-siur. McKee & Weir (1953) mendefinisikan lapisan perenggan (foreset bed) sebagai suatu “stratum silang-siur” (“cross-stratum”) dan mendefinisikan satuan lapisan silang-siur (cross-bedding unit) sebagai suatu “himpunan strata silang-siur” (“a set of cross-strata”). Mereka membedakan lapisan silang-siur, yang memiliki perenggan dengan ketebalan lebih dari 1 cm, dengan “laminasi silang-siur” (“cross-lamination”) yang memiliki perenggan dengan ketebalan kurang dari 1 cm.
Penggolongan lapisan silang-siur sukar untuk dilakukan. Hal itu terjadi karena (1) lapisan silang-siur memiliki ukuran dan bentuk yang sangat beragam; dan (2) banyak singkapan lapisan silang-siur relatif terbatas sedemikian rupa sehingga skema pengggolongan tertentu tidak dapat diterapkan kepadanya. Ada dua tipe umum dari lapisan silang-siur (gambar 4-5). Pertama, himpunan lapisan silang-siur tabuler sederhana (simple tabular set) dengan perenggan yang lebih kurang datar. Kedua, himpunan lapisan silang-siur mangkok (a trough-shaped set of cross-strata) dengan perenggan yang biasanya merupakan bidang lengkung. Kita mungkin akan menemukan kesukaran untuk membedakan kedua tipe lapisan silang-siur itu dalam singkapan berukuran kecil, dalam singkapan yang tidak lengkap, atau dalam singkapan yang menjurus pada arah yang kurang sesuai. Perbedaan diantara kedua tipe lapisan silang-siur itu paling jelas terlihat pada singkapan yang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang perlapisan. Pada singkapan seperti itu, jejak perenggan dari lapisan silang-siur tabuler sederhana akan tampak sebagai garis lurus, sedangkan jejak perenggan dari lapisan silang-siur mangkok akan tampak cekung ke hilir. Garis yang menghubungkan titik-titik tengah jejak perenggan pada lapisan silang-siur mangkok mengindikasikan arah aliran yang membentuknya. McKee & Weir (1953) serta Allen (1963) mengembangkan suatu skema penggolongan lapisan silang-siur yang merupakan variasi dari kedua tipe umum tersebut di atas.
Lapisan silang-siur tabuler sederhana memiliki skala, kemiringan, dan azimuth. Skala berkaitan dengan ketebalan satuan lapisan silang-siur yang dapat bervariasi mulai dari 1 atau 2 cm hingga beberapa puluh meter. Sebagian besar himpunan lapisan silang-siur memiliki ketebalan kurang dari 1 m. Inklinasi menyatakan sudut kemiringan laminasi perenggan. Sudut itu merupakan sudut yang dibentuk oleh perenggan dengan bidang perlapisan utama atau sudut yang dibentuk oleh garis singgung perenggan yang memiliki kemiringan paling tinggi dengan bidang perlapisan utama. Bidang perlapisan utama diasumsikan merupakan bidang horizontal ketika lapisan silang-siur terbentuk. Asumsi itu hampir benar, namun tidak sepenuhnya benar. Inklinasi biasanya disamakan dengan “sudut henti” dan memang keduanya hampir persis sama. Meskipun sudut henti umumnya dikatakan berharga 33-34o, namun inklinasi rata-rata dari himpunan lapisan silang-siur kemungkinan besar berkisar mulai dari 15o hingga 20o. Pada beberapa kasus, inklinasi sangat tegak, bahkan dalam kasus istimewa dapat terbalik (gambar 4-6). Jelas bahwa hal itu terjadi akibat deformasi pasca-pengendapan. Azimuth adalah sudut horizontal yang dibentuk oleh meridian dengan proyeksi horizontal dari garis kemiringan yang ada pada perenggan. Pendeknya, azimuth itu menyatakan arah hilir. Jika satuan lapisan silang-siur yang kita teliti merupakan lapisan silang-siur mangkok, definisi-definisi itu perlu sedikit dirubah. Geometri pada lapisan silang-siur seperti itu paling baik dicandra dengan menyatakan lebar dan kedalaman perenggan yang bentuknya seperti bidang kerukan itu. Nisbah lebar terhadap kedalaman perenggan cenderung untuk berharga tetap, meskipun nilai-nilai aktual dari kedua aspek itu sangat bervariasi (Allen, 1963). Lihat gambar 4-7. Perenggan memiliki lebar mulai dari beberapa centimeter hingga lebih dari 30 meter, sedangkan kedalamannya mulai dari satu per sekian centimeter hingga lebih dari 10 meter. Perenggan umumnya melengkung dan cekung ke hilir (gambar 4-5).
Pola yang diperlihatkan oleh stratifikasi silang-siur berskala kecil pada bidang perlapisan disebut “rib-and-furrow” oleh Stokes (1953), disebut “Schrägschichtungsbögen” oleh Gürich (1933), dan disebut “laminasi silang-siur mikro” (“micro cross-lamination”) oleh Hamblin (1961).
Meskipun banyak perenggan mendekati bentuk bidang datar, dan berakhir pada bidang perlapisan bawah dan bidang perlapisan atas dengan membentuk sudut lancip yang lebih kurang sama, namun sebagian perenggan melengkung ke bawah dan kemudian berakhir secara tangensial pada bidang perlapisan bawah.
Meskipun istilah topset dan bottomset sering diterapkan pada strata yang berturut-turut terletak di atas dan di bawah strata silang-siur tabuler, namun pemakaian istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak tepat. Perenggan pada strata silang-siur umumnya tidak menembus strata lain yang terletak di atas atau di bawah strata itu. Strata silang-siur bukan merupakan produk per-tumbuhan mikrodelta. Ungkapan yang menyatakan bahwa perenggan “terpancung”, yang mengimplikasikan terjadinya peng-erosian, juga merupakan konsep yang keliru.
Asal-usul lapisan silang-siur dikatakan sangat beragam. Untuk lapisan silang-siur sebagaimana telah didefinisikan pada bagian ini, jelas bahwa lapisan silang-siur itu terbentuk sebagai hasil migrasi sand wave. Ukuran sand wave menentukan skala lapisan silang-siur yang dihasilkannya. Migrasi gumuk menghasilkan strata silang-siur berskala besar, sedangkan migrasi gelembur menghasilkan stratifikasi silang-siur berskala kecil. Asal-usul lapisan silang-siur planar-tabuler akan mudah dipahami dengan merujuk pada gambar 4-8. Pada kasus itu, satuan strata silang-siur itu sendiri memiliki initial dip ke hulu, sedangkan perenggan pada satuan strata silang-siur itu miring ke hilir. Initial dip pada satuan strata silang-siur biasanya kecil, paling hanya 1 atau 2 derajat, dan seringkali tidak terlihat pada satu singkapan tunggal. Ukuran lapisan silang-siur ditentukan oleh ketinggian gumuk, sedangkan morfologinya ditentukan oleh morfologi gelembur (jika berskala kecil) atau oleh morfologi gumuk dan sand wave (apabila berskala besar) (Allen, 1963). Gelembur atau sand wave yang linier dan teratur akan menghasilkan stratifikasi silang-siur planar-tabuler sederhana. Gelembur atau sand wave linguloid akan menghasilkan stratifikasi silang-siur mangkok.
Kebenaan lapisan silang-siur telah diperdebatkan oleh para ahli sejak lama. Lapisan silang-siur yang ada dalam suatu formasi tidak menyebar secara random, melainkan memperlihatkan preferred orientation (gambar 4-9). Dalam endapan aluvial, lapisan silang-siur rata-rata mengarah ke hilir. Dalam endapan bahari, kebenaan lapisan silang-siur tidak terlalu jelas, meskipun lapisan itu tetap memperlihatkan preferred orientation. Azimuth yang berlawanan pada suatu satuan lapisan silang-siur meng-indikasikan arus pasut. Lapisan silang-siur seperti itu sering muncul dalam beberapa singkapan dalam bentuk struktur “tulang ikan” (“herringbone” structure). Lapisan silang-siur eolus lebih mencerminkan angin yang bekerja untuk suatu rentang waktu yang relatif lama di permukaan bumi atau angin yang paling efektif bekerja di permukaan bumi; bukan mencerminkan sistem angin dengan sirkulasi global. Hingga sejauh ini belum ada satupun jenis atau skala lapisan silang-siur yang khas untuk agen atau lingkungan pengendapan tertentu. Walau demikian, lapisan siang-siur yang sangat besar kemungkin terbentuk pada lingkungan eolus atau bahari; bukan pada lingkungan fluvial.
Skala lapisan silang-siur (dan sand wave yang menjadi “bahan” pembentukannya) dalam endapan akuatis tampaknya berkaitan dengan kedalaman (Allen, 1963). Lihat gambar 4-10. Sebagaimana dikemukakan oleh Carey & Keller (1957), ukuran gumuk atau sand wave di Sungai Mississippi bertambah sejalan dengan meningkatnya luah (dan, oleh karena itu, kedalaman) pada saat banjir. Pengamatan lapangan biasa saja sudah cukup untuk memperlihatkan adanya sand wave berukuran besar dan, oleh karena itu, lapisan silang-siur yang lebih tebal pada sungai besar. Allen (1963) menyajikan sebuah hasil kompilasi yang memperlihatkan bahwa ketinggian sand wave memiliki hubungan yang linier dengan kedalaman. Hubungan itu memungkinkan kita untuk memperkirakan kedalaman dari skala lapisan silang-siur dalam endapan purba (Allen, 1963).
4.3.4.1  Gelembur
Sebagai suatu gejala yang sangat sering ditemukan, baik pada sand flat masa kini maupun pada bidang perlapisan batupasir purba, gelembur (ripple mark) telah menarik perhatian tidak saja para ahli geologi, namun juga para ahli fisika yang mempelajari fenomena geleombang. Karena itu, tidak mengherankan apabila literatur gelembur saat ini demikian banyak.
Banyak perhatian ditujukan pada gelembur sebagai sebuah fenomenon bidang batas. Ketika suatu aliran yang bergerak di atas dasar yang disusun oleh pasir mencapai nilai kecepatan tertentu, partikel-partikel pasir mulai bergerak dan gelembur mulai terlihat pada permukaan pasir itu. Banyak penelitian awal mengenai gelembur ditujukan untuk memahami proses tersebut serta pola gelembur yang dihasilkannya. Diantara sekian banyak penelitian geologi di masa lalu, makalah-makalah karya Bucher (1919) dan Kindle (1917) merupakan makalah yang paling lengkap. Makalah-makalah itu juga membahas tentang batupasir purba yang mengandung gelembur.
Ada dua aspek penelitian gelembur yang mendapat perhatian khusus dari para ahli. Pertama, kebenaan geografi dari gelembur, khususnya orientasi gelembur. Aspek itulah yang dulu menjadi tujuan penelitian Hyde (1911) ketika dia meneliti gelembur yang ada dalam Berea Sandstone (Mississippi) di Ohio. Kedua, struktur internal batupasir dan batulanau yang dihasilkan oleh pertindihan dan migrasi gelembur. Struktur yang dimaksud adalah apa yang disebut sebagai laminasi silang-siur mikro oleh Hamblin (1961) atau ripple bedding. Struktur itu sering terlihat pada penampang vertikal batuan. Pada bidang per-lapisan, ripple bedding menampakkan diri sebagai “rib-and-furrow”. Makalah-makalah karya Walker (1963, 1969), Allen (1963), dan McKee (1966) membahas tentang ripple bedding dan tentang fenomena yang disebut sebagai climbing ripple. Karya tulis paling komprehensif mengenai gelembur ditinjau dari semua sudut pandang adalah karya Allen (1963, 1969). Ketika suatu arus bergerak di atas massa pasir mencapai nilai kecepatan tertentu, butiran-butiran pasir mulai bergerak dan pada permukaan massa pasir itu akan terbentuk serangkaian gelembur. Gelembur-gelembur arus itu terdiri dari sejumlah punggungan yang lebih kurang lurus, dan satu sama lain terpisahkan oleh suatu jarak yang lebih kurang sama, dimana arah yang ditunjukkan oleh punggungan itu lebih kurang tegak lurus terhadap arah arus. Di bawah kondisi-kondisi aliran tertentu, pola gelembur arus menjadi makin tidak beraturan dan puncak gelembur akhirnya pecah menjadi sederetan struktur berbentuk seperti huruf-U. Sebagian struktur itu berupa gelembur barchanoid atau lunate jika cembung ke hulu; sebagian lain berupa gelembur linguloid atau gelembur yang berbentuk seperti lidah jika cembung ke hilir. Gelembur linguloid agaknya lebih umum ditemukan di alam. Sejalan dengan makin tingginya kecepatan, gelembur hilang dan pada massa pasir itu akan terbentuk bidang datar mulus, di atas bidang mana pasir tersapu.
Jika pasir diangkut di atas dasar yang tidak disusun oleh pasir (misalnya saja dasar yang disusun oleh lumpur), dan jika pasokan pasir tidak memadai untuk dapat membentuk suatu lapisan menerus, pasir itu akan terakumulasi dalam tonjolan-tonjolan terisolasi. Tonjolan-tonjolan itu disebut starved ripples oleh sebagian ahli dan tampak pada penampang melintang sebagai lensa-lensa pasir datar-cembung yang tertanam dalam batulumpur. Istilah perlapisan lentikuler (lenticular bedding) dipakai oleh Reineck & Wunderlich (1968) untuk menamakan struktur itu, sedangkan Conybeare & Crook (1968) menamakan-nya perlapisan flaser (flaser bedding).
Dasar pasir yang ada di daerah perairan-dangkal umumnya ditutupi oleh gelembur osilasi (oscillation ripple mark) yang dihasilkan oleh pergerakan maju-mundur partikel-partikel air di bawah pengaruh gelombang. Apabila dilihat dari atas, kenampak-an gelembur osilasi itu mirip dengan—mungkin sedikit lebih teratur dibanding—gelembur arus. Apabila dilihat pada penampang melintang, gelembur osilasi memiliki bentuk yang simetris. Kesimetrian bentuk gelembur, serta bentuk puncak gelembur yang tajam dan bentuk lembah yang lebar, menjadi faktor yang membedakan gelembur osilasi dari gelembur arus. Kenampakan yang khas dari bentuk asli gelembur osilasi, dan cast-nya, menyebabkan struktur ini sangat bermanfaat sebagai kriterion untuk menentukan posisi stratigrafi (Cox & Dake, 1916; Shrock, 1948).
Tata peristilahan yang digunakan pada gelembur osilasi diperlihatkan pada gambar 4-11. Panjang (length) adalah jarak antara dua titik yang berkorespondensi dan terletak pada dua gelembur yang berdampingan. Tinggi (height)—kadang-kadang disebut juga amplitudo (amplitude) pada literatur lama—adalah jarak vertikal antara puncak dengan lembah gelembur. Indeks gelembur (ripple index) adalah nisbah panjang terhadap tinggi gelembur. Tatanama yang sama juga dapat diterapkan pada gelembur arus, namun istilah-istilah itu lebih sukar untuk diterapkan pada gelembur lunate atau linguloid yang bentuknya lebih tidak beraturan dibanding gelembur berpuncak lurus. Selain itu, gelembur arus berbeda dengan gelembur osilasi karena bentuknya tidak simetris. Gelembur arus memiliki sisi hulu yang landai dan sisi hilir yang curam. Karena itu, gelembur arus merupakan sebuah kriterion yang baik dari arus purba.
Selain gelembur arus dan gelembur osilasi, para ahli juga mengenal tipe-tipe gelembur yang lain. Dua gelembur yang bertumpuk dapat menghasilkan “gelembur interferensi” yang disebut “tadpole nest”. Sebuah struktur yang agak aneh ditemukan dalam lumpur. Struktur yang disebut gelembur dan telah dicandra oleh van Straaten itu terdiri dari gelembur yang terpisahkan oleh jarak yang relatif beraturan, bentuknya lebih kurang simetris, serta memiliki puncak menerus yang sejajar dengan arah arus. Struktur lain yang aneh adalah apa yang disebut sebagai gelembur rhomboid (rhomboid ripple) (Hoyt & Henry, 1963). Gelembur yang disebut terakhir ini agaknya hanya terbentuk pada swash face dari gisik.
Pola gelembur tertentu mungkin kompleks karena merupakan produk kombinasi dari gelombang dan arus. Berbagai bentuk hibrid itu telah dipaparkan oleh van Straaten.
4.3.4.2  Ripple Bedding
Aspek paling penting dari gelembur pasir adalah struktur internalnya dan laminasi silang-siur berskala kecil (dan seringkali kompleks) yang merupakan produk migrasi gelembur itu. Pada penampang melintang, migrasi gelembur menghasilkan lapisan silang-siur berskala kecil atau apa yang disebut sebagai laminasi silang-siur mikro oleh Hamblin (1961). Bentuk laminasi silang-siur mikro yang paling sederhana memiliki ketebalan sekitar 1 cm atau kurang dari itu. Jika proses pembentukan dan migrasi gelembur itu berlangsung dalam suatu rentang waktu yang relatif lama, maka dapat terjadi penumpukan beberapa lapisan dan dalam banyak kasus pada akhirnya akan terbentuk lapisan komposit yang sangat kompleks. Andersen (1931) meneliti bentuk-bentuk lapisan silang-siur kompleks (yang dia sebut sebagai “rolling strata”) dalam sedimen fluvioglasial di Denmark. McKee (1938, 1939) melaporkan adanya perlapisan gelembur yang kompleks dalam endapan banjir Sungai Colorado, Grand Canyon. Ada beberapa kemungkinan penumpukan gelembur. Gelembur dapat mengalami penumpukan sefasa (in phase superimposed) sehingga gelembur tidak tampak bermigrasi sama sekali, melainkan seolah-olah tumbuh ke atas sejalan dengan terus ber-langsungnya pengendapan. Hubungan penumpukan yang biasa ditemukan adalah migrasi progresif puncak gelembur sedemikian rupa sehingga setiap gelembur tampak “mengapung” dan “naik” ke atas sisi hulu gelembur yang ditindihnya. Struktur yang kurang beraturan dihasilkan oleh penumpukan tidak sefasa beberapa himpunan gelembur. Hasilnya adalah suatu pola perlapisan yang agak “aneh” dan kadang-kadang disebut perlapisan flaser (gambar 4-12).
Gelembur naik (climbing ripple) dan endapan laminasi silang-siurnya—yang disebut struktur gelembur naik (climbing ripple structure) oleh McKee (1966) atau disebut laminasi gelembur-mengembara (ripple-drift lamination) atau laminasi silang-siur gelembur-mengembara (ripple-drift cross-lamination) oleh Walker (1963, 1969)—memperlihatkan bentuk yang beragam. Pada beberapa kasus, laminasi gelembur naik itu merupakan bentuk transisi dari satu tipe laminasi kepada tipe laminasi lain. Pada kasus lain, laminasi gelembur naik dibatasi secara tajam oleh backset bedding planes. Pada kasus pertama, laminasi sisi hulu terawetkan, meskipun laminasi itu lebih tipis dibanding laminasi sisi hilir. Pada kasus kedua, laminasi sisi hulu tidak terawetkan atau tererosi. Sebuah bentuk khusus dari kasus pertama adalah laminasi gelembur naik yang ditandai dengan akumulasi lumpur pada lembah gelembur serta akumulasi lanau dan pasir pada lereng hulu. Segregasi material itu menghasilkan sederetan perselingan lapisan-lapisan lumpur dan lanau dengan kemiringan yang curam ke arah hulu dan sekilas tampak sebagai lapisan silang-siur yang skalanya lebih besar. Karena itu, pengamatan yang kurang cermat terhadap laminasi silang-siur seperti itu dapat membawa kita untuk sampai pada kesimpulan yang keliru dengan menganggapnya sebagai lapisan silang-siur berskala besar. Laminasi silang-siur seperti itu agaknya merupakan ciri paket turbidit yang paling khas (Walker, 1963). Faktor-faktor hidrolika, yang menentukan tipe dan sudut-naik (climb angle) dari gelembur naik, telah dibahas oleh Allen (1970).
Pola tumpukan ripple bedding yang kurang beraturan akan menghasilkan laminasi internal yang kompleks. Struktur seperti itu jelas dihasilkan oleh proses pembentukan gelembur, namun tidak memperlihatkan pola tumpukan yang tetap dan teratur. Lapisan-lapisan batupasir atau batulanau seperti itu disebut wavy bedding.
Jika lumpur hadir, bentuk satuan bergelembur akan menjadi lebih jelas terlihat. Lumpur yang berselingan mungkin muncul sebagai lensa-lensa atau flaser akibat terakumulasinya lumpur secara terbatas pada lembah-lembah gelembur. Secara keseluruhan, struktur itu dinamakan perlapisan flaser (flaser bedding). Jika lensa-lensa lumpur saling bergabung, struktur yang terbentuk disebut wavy bedding. Jika lumpur merupakan material dominan, maka satuan bergelembur itu akan terisolasi dan tertutup dalam matriks lumpur. Secara keseluruhan, satuan itu dinamakan perlapisan lentikuler (lenticular bedding) atau starved ripple (Reineck & Wunderlich, 1968). Lihat gambar 4-12.
Aspek lain dari struktur internal dari batupasir, yang diperkirakan memiliki kaitan dengan ripple bedding, adalah apa yang disebut sebagai “rib-and-furrow” oleh Stokes (1953). Struktur yang disebut terakhir ini pernah ditemukan oleh Gurich (1933) dalam flagstones dari Maulborn monastery, bagian tengah Jerman, dan dinamakannya “Schrägschichtungsbögen”. Ketika terlihat pada bidang perlapisan, struktur itu terdiri dari jejak-jejak melengkung, transversal, berukuran kecil, dan muncul dalam himpunan-himpunan yang relatif terbatas pada narrow furrow yang relatif panjang dan dipisahkan dari himpunan lain oleh ribs yang sangat sempit dan tidak menerus. Longitudinal furrow pada dasarnya sejajar satu sama lain dan sejajar dengan arah aliran. Furrows itu lebarnya beberapa centimeter dengan panjang hingga sektiar 1 meter. Jejak-jejak transversal berukuran kecil itu melengkung, dengan sisi cembung mengarah ke hulu, sedangkan garis yang menghubungkan titik tengah jejak-jejak itu sejajar dengan arah aliran. Jejak-jejak transversal itu merupakan sisi-sisi struktur imbrikasi yang tererosi—laminasi melengkung yang mengarah ke atas.
Struktur rib-and-furrow agaknya merupakan satu spesies lapisan silang-siur mangkok yang terletak pada bidang perlapisan dan dihasilkan oleh migrasi sistem gelembur linguloid. Struktur itu pernah ditemukan oleh Stokes dalam Moenkopi Formation (Trias) dan Saltwash Sandstone Member dari Morrison Formation (Jura) di Utah. Struktur itu juga pernah ditemukan dalam flagstones Devon di Pennsylvania. Ripple bedding dapat dikenai oleh synsedimentary deformation. Deformasi itu paling sering ditampilkan sebagai laminasi gelembur yang sangat curam. Apabila deformasinya relatif kuat, maka sudut kemiringan laminasi gelembur tampak sangat curam, bahkan terbalik. Produk deformasi gelembur yang mungkin paling ekstrim adalah perlapisan konvolut (convolute bedding). Ketika gelembur terakumulasi sebagai satuan-satuan terisolasi di atas suatu massa lumpur, gelembur itu dapat mengalami deformasi pembebanan dan tenggelam atau melesak ke dalam lumpur yang terletak dibawahnya. Struktur itu disebut “load-casted” ripple (Dzulynski, 1962).
Gelembur, sebagaimana lapisan silang-siur, terbukti sangat bermanfaat sebagai indikator posisi stratigrafi, indikator arah arus purba, dan indikator kondisi-kondisi aliran. Struktur itu juga merupakan indikator lingkungan pengendapan yang bermanfaat karena terbentuk pada kondisi yang sangat beragam, pada kedalaman yang juga beragam, selama di tempat itu ada arus yang bergerak di atas massa pasir. Gelembur hasil aktivitas gelombang berbeda dengan gelembur hasil aktivitas arus searah. Gelembur angin (wind ripple) juga jauh berbeda dari gelembur akuatis (aqueous ripple). Sayang sekali, gelembur angin jarang ditemukan dalam rekaman geologi. Gelembur terbukti sangat bermanfaat dalam analisis paleogeografi.
4.3.4.3  Graded bedding
Graded bedding, suatu tipe struktur yang sering ditemukan dalam paket batuan sedimen, telah menarik perhatian para ahli geologi lapangan karena struktur itu sangat bermanfaat dalam menentukan urut-urutan superposisi pada lipatan isoklin dan batuan yang telah mengalami pembalikan. Kebenaan geologi dari graded bedding serta pengenalan graded bedding dan lapisan silang-siur sebagai penciri dua fasies pengendapan pasir yang berbeda dijelaskan pertama kali oleh Bailey (1930, 1936). Dewasa ini para ahli mengakui bahwa graded bedding mungkin merupakan ciri paling khas dari pengendapan turbidit yang umumnya berlangsung di wilayah perairan-dalam.
Graded bed merupakan satuan sedimentasi yang ditandai oleh perubahan ukuran partikel penyusun secara berangsur dari bawah ke atas, dimana partikel paling kasar terletak di bawah dan partikel paling halus terletak di atas. Graded bed diendapkan dari arus yang sudah kehilangan kemampuannya untuk mengangkut partikel. Graded bed memiliki ketebalan yang bervariasi, mulai dari sekitar 1 cm hingga sekitar 1 meter. Partikel-partikel penyusun graded bed dapat berupa lanau, pasir, atau pada kasus-kasus tertentu juga gravel. Kebanyakan graded bed merupakan batupasir (biasanya berupa greywacke dalam paket endapan purba). Ketebalan graded bedded sandstone itu berkisar mulai dari beberapa centimeter hingga sekitar 1 meter. Secara umum, makin tebal suatu graded unit, makin kasar material penyusunnya (Potter & Scheidegger, 1966). Graded bed memperlihatkan distribusi ketebalan log normal (gambar 4-2).
Ada beberapa tipe grading. Sebagian graded bed merupakan lapisan komposit yang kemungkinan besar terbentuk ketika surge kedua tiba sebelum surge pertama terendapkan seluruhnya. Cara lain yang menyebabkan terbentuknya lapisan komposit adalah terpancungnya graded unit pertama sebelum diendapkan graded bed kedua.
Meskipun ragam grading yang terlihat di lapangan sangat bervariasi, namun jelas ada suatu urut-urutan struktur ideal yang dapat ditemukan dalam suatu graded unit lengkap. Daur ideal itu disebut daur Bouma (Bouma cycle) karena daur itu dipaparkan secara eksplisit untuk pertama kalinya oleh Bouma (1962). Sekuen ideal yang diajukan oleh Bouma (gambar 4-13) terdiri dari lima bagian atau “interval”. Interval paling bawah, yakni graded interval (a), memperlihatkan grading dan biasanya merupakan bagian paling tebal dari lapisan itu. Pada beberapa kasus, grading tidak terlihat jelas bahkan tidak terbentuk sama sekali apabila pasir yang terangkut dan terendapkan sebagai lapisan itu memiliki pemilahan yang sangat baik. Pada bebeapa kasus, graded interval ditindih oleh interval pasir berlaminasi (b) dan, kemudian, oleh interval yang memperlihatkan ripple cross-lamination (c). Menurut Bouma, Interval (c) kemudian ditindih oleh pelit pasiran atau lanauan yang berlaminasi (d). Interval (d) itu umumnya tersingkap buruk dan seringkali tidak dapat teramati. Interval paling atas (e) adalah interval pelit (serpih atau sabak).
Sebagaimana dikemukakan oleh Bouma, kita jarang menemukan lapisan yang memperlihatkan keseluruhan sekuen Bouma. Kebanyakan memperlihatkan terjadinya pemancungan bagian atas sekuen (top truncation). Maksudnya, daur itu tidak lengkap dan dimulai dengan graded interval, namun tidak mengandung satu atau lebih interval-interval lain yang “seharusnya” terletak di atas graded interval. Sekuen yang mungkin lebih sering ditemukan adalah sekuen yang memperlihatkan “pemancungan” bawah. Maksudnya, lapisan itu dimulai dengan suatu interval yang bukan graded interval. Walau demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Bouma, meskipun terjadi pemancungan, namun interval-interval itu selalu berada dalam urut-urutan yang tetap.
Sekuen yang tidak lengkap mungkin dapat dinisbahkan pada pelemahan arus pembentuk sekuen ketika menyebar di lantai cekungan. Ketika pasokan material kasar berkurang dan arus melemah, tidak akan terbentuk graded interval dan pengendapan akan dimulai dengan interval (b). Ketika arus lebih lemah lagi, endapan yang pertama kali terbentuk adalah interval (c).
Perubahan lateral dari graded bed itu disertai dengan penurunan ketebalan lapisan. Pola penurunan ketebalan dan besar butir graded bed ideal ke arah hilir adalah eksponensial negatif (Scheidegger & Potter, 1971). Fakta tidak ditemukannya interval-interval terbawah dari sekuen Bouma, apabila berlangsung secara sistematis, dapat menjadi petunjuk “proksimalitas” (“proximality”) endapan. Lapisan-lapisan proksimal, yang dekat dengan daerah sumber, memperlihatkan sekuen yang lengkap. Lapisan-lapisan distal cenderung memperlihatkan pemancungan bawah. Berdasarkan hubungan itu, Walker (1967) menghitung indeks proksimalitas (proximality index), P, yang didefinisikannya sebagai P = A + 1/2B, dimana A dan B adalah persentase lapisan-lapisan dalam suatu sekuen yang berturut-turut dimulai oleh interval a dan b.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, graded bedding dan lapisan silang-siur menandai dua fasies pengendapan pasir yang jauh berbeda. Karena itu, kedua struktur tersebut tidak pernah ditemukan dalam satu sekuen sedimen yang sama. Namun, seperti telah ditunjukkan di atas, lapisan silang-siur berskala kecil atau ripple cross-lamination, merupakan bagian integral dari graded bed ideal. Lapisan silang-siur berskala besar, yang melibatkan keseluruhan satuan sedimentasi, tidak pernah ditemukan dalam graded sequence.
Graded bedding ditemukan di banyak tempat dan dalam endapan yang umurnya bervariasi. Graded bedding merupakan jenis struktur yang boleh dikatakan dapat ditemukan pada semua sekuen Prakambrium awal (Temiskaming) di Perisai Canada (Pettijohn, 1943; Walker & Pettijohn, 1971). Graded bedding seperti itu juga dilaporkan ada dalam batuan Prakambrium awal (Bothnian) di Finlandia (Simonen & Kuovo, 1951), dalam batuan Arkean di Afrika Selatan dan Australia (Dunbar & McCall, 1971). Graded bedding yang sangat baik ditemukan dalam endapan Silur di Aberysthwith, Wales, (Rich, 1950; Kuenen, 1953b; Wood & Smith, 1953), dalam endapan Miosen di Appenines (Kuenen & Migliorini, 1950; ten Haaf, 1959), dalam endapan Kambrium di Harlech Dome, Wales, (Kopstein, 1954), dalam endapan Pliosen di Santa Paula Creek, California, (Natland & Kuenen, 1951), dalam endapan Karbon Kulm, bagian tengah Jerman (Kuenen & Sanders, 1956), dalam flysch di Pegunungan Carpathia (Dzulynski dkk, 1959), dalam endapan Ordovisium di Martinsburg, bagian tengah Appalachia (McBride, 1962), endapan Devon akhir di bagian tengah Appalachia (McIver, 1970), dalam endapan Paleozoikum Akhir di Ouachita Mountains, Arkansas dan Oklahoma (Cline, 1966) serta dalam endapan Kapur di Sacramento Valley, California (Ojakangas, 1968). Graded bedding mungkin merupakan struktur khas dalam semua endapan geosinklin yang disusun oleh perselingan greywacke dengan serpih atau sabak. Graded bedding juga banyak ditemukan dalam inti bor pasir laut-dalam masa kini (Nesteroff, 1961; Kuenen, 1964).
Graded bedding terutama ditemukan dalam batupasir, khususnya greywacke Paleozoikum atau endapan yang lebih tua dari itu. Walau demikian, graded bedding tidak hanya ditemukan dalam tipe pasir itu. Graded bedding bahkan dapat ditemukan dalam batugamping yang sebenarnya diendapkan sebagai pasir. Batugamping itu disebut batugamping alodap (allodapic limestone) oleh Meischner (1964). Graded bedding kadang-kadang ditemukan dalam kuarsit, baik kuarsit masa kini maupun kuarsit purba. Graded bedding relatif jarang ditemukan dalam kuarsit karena kuarsit biasanya bukan merupakan endapan wilayah perairan-dalam yang dicirikan oleh kehadiran sekuen Bouma. Pada kasus yang disebut terakhir ini, graded bedding umumnya bersifat soliter dan muncul secara sporadik.
Asal-usul graded bed dijelaskan dengan beberapa teori. Bailey (1930) menisbahkannya pada gempabumi yang berperan sebagai “distributor intermittent untuk pasir dan lumpur”. Dia mengasumsikan graded bed “dihasilkan oleh proses penenggelam-an melalui massa air yang relatif tenang, yang memungkinkan pasir dan lumpur untuk diendapkan pada satu tempat yang sama; sisa dari proses pengendapan ini berupa lumpur yang bertekstur paling halus”. Menurut Bailey, “pasir dan lumpur, yang membentuk akumulasi-akumulasi tidak stabil pada tepi geosinklin, secara periodik diguncang oleh gempabumi bawahlaut dan kemudian terangkat ke dalam suspensi dan akhirnya diendapkan di wilayah perairan yang dalam dan tenang”.
Kuenen & Migliorini (1950) pertama kali menyatakan bahwa arus turbid mungkin merupakan penyebab terbentuknya graded bedding. Kuenen (1953a) menyajikan sebuah tinjauan yang mendetil terhadap berbagai bukti yang mendukung bahwa graded bed terbentuk oleh arus turbid. Bukti yang paling meyakinkan terletak pada struktur itu sendiri, yakni grading. Grading dapat direproduksikan secara eksperimental dari arus turbid (Kuenen & Migliorini, 1950; Kuenen & Menard, 1952). Bukti lain yang juga penting adalah ketebalan graded bed yang seragam, termasuk dalam graded unit yang paling tebal (arus normal akan menghasilkan satuan-satuan silang-siur yang berbentuk lentikuler), tidak adanya lapisan silang-siur, ditemukannya bukti-bukti endapan wilayah perairan-dalam (mikrofauna perairan-dalam dalam serpih yang berselingan dengan graded bed), serta pengendapan material rombakan kasar dalam lumpur yang terletak di atas graded bed tanpa disertai dengan adanya gangguan pada permukaan lumpur itu (jejak-jejak cacing yang halus terawetkan sebagai cast ada bidang perlapisan bawah dari lapisan pasir yang menindihnya). Jelas sudah bahwa setiap graded bed merekam episode pengendapan tunggal yang berumur pendek dan merupakan produk sedimentasi perairan-dalam yang berada di luar jangkauan arus dasar dan gelombang. Bukti-bukti yang dapat dikumpulkan sampai sekarang hampir pasti mengindikasikan pengendapan dari aliran turbid pekat. Arus turbid itu sendiri mungkin merupakan produk nendatan bawahlaut yang pembentukannya mungkin dipicu oleh gempabumi. Meskipun sebagian besar ahli geologi menyetujui konsep arus turbid, namun ada juga ahli-ahli yang tidak menyetujuinya (van der Lingen, 1969; Hubert, 1966). Untuk merngetahui dua pandangan yang bertentangan itu, para pembaca dipersilahkan untuk menelaah makalah-makalah tersebut serta pembahasan terhadap pandangan-pandangan tersebut oleh Kuenen (1967, 1970).
Graded bed mungkin terbentuk dengan cara lain. Sangat miripnya graded bed tipis dengan lanau dan pasir warwa dalam danau proglacial Plistosen mendorong sebagian ahli untuk berpendapat bahwa influks musiman material sedimen yang dikontrol oleh pelelehan musiman suatu gletser bertanggungjawab terhadap pembentukan graded bed. Pendapat seperti itu digunakan untuk menjelaskan graded bed yang ada dalam Sudbury Series di Ontario, Canada (Coleman, 1926), graded bed Arkean di Tempere, Finlandia (Simonen & Kuovo, 1951), serta graded bed Arkean di Danau Minnitaki, Ontario (Pettijohn, 1936). Penjelasan itu hampir dapat dipastikan tidak benar adanya dan gagasan itu diajukan sebelum dikembangkannya konsep arus turbid. Jika graded bed merupakan endapan musiman, maka ketebalannya akan mengimplikasikan laju pengendapan yang sangat tinggi. Padahal implikasi seperti itu kurang masuk nalar. Meskipun sebagian sedimen danau Plistosen diketahui mengandung warwa pasir yang tebal, namun graded bed tua tidak mungkin diendapkan dengan cara itu. Satu hal yang memperlemah penjelasan itu adalah tidak ditemukannya dropstone yang merupakan indikator paling kuat dari endapan glaciolacustrine atau glaciomarine.
Kuenen (1953) dan Sujkowski (1957) memperkirakan bahwa suatu graded bed dipisahkan dari graded bed lain yang terletak di atas atau dibawahnya oleh rentang waktu beberapa ratus tahun hingga beberapa ribu tahun. Graded bed merekam peristiwa yang sangat singkat. Lapisan-lapisan pelit yang berselingan dengan graded bed merupakan endapan “asli” dari cekungan dan terakumulasi dengan laju yang sangat lambat.
Meskipun sebagian graded bed yang terisolasi dan sporadik dapat dihasilkan oleh letusan gunungapi, banjir besar, atau badai, namun sebagian besar graded bed bahari yang repetitif hampir dapat dipastikan merupakan produk aliran turbid. Graded bed yang dihasilkan oleh proses-proses lain agaknya relatif jarang, dan kemungkinan besar bersifat soliter, serta berbeda dalam strukturnya atau gejala-gejala lain yang berasosiasi dengannya sedemikian rupa sehingga kemungkinan besar kita tidak akan tertukar dengan grading yang dihasilkan oleh arus turbid. Pengecualian untuk itu adalah batulanau tipis, berlapis rata, dan berbutir halus. Pembedaan antara endapan-endapan itu dengan sedimen musiman mungkin tidak begitu mudah.
Asal-usul graded bed sangat erat kaitannya dengan masalah turbidit. Karena itu, untuk mendapatkan pembahasan yang lebih mendetil mengenai graded bedding, para pembaca disarankan untuk membaca karya-karya tulis yang lebih komprehensif mengenai turbidit (Bouma, 1962; Bouma & Brouwer, 1964; Walker, 1970).
4.3.4.4  Growth bedding
Istilah growth bedding disini diterapkan pada stratifikasi yang dihasilkan oleh aktivitas organisme secara in situ atau presipitasi kimia in situ pada bidang akumulasi. Growth bedding berbeda dengan tipe-tipe perlapisan yang telah dijelaskan di atas, karena semua tipe perlapisan yang telah dijelaskan di atas dibentuk akibat ditempatkannya partikel-partikel komponen lapisan pada rangka batuan oleh aksi arus. Dengan demikian, growth bedding boleh dikatakan merupakan lawan dari current bedding. Growth bedding secara khusus mencirikan batugamping serta banyak endapan travertin dan tufa.
Tipe growth bedding yang agaknya paling penting adalah perlapisan stromatolit (stromatolitic bedding). Perlapisan stromatolit banyak ditemukan dalam batugamping Paleozoikum awal dan Prakambrium. Karena tipe perlapisan ini berkaitan dengan pembentukan dan sifat-sifat algamat (algal mat), maka perlapisan itu sebagian mengandung sifat-sifat struktur sedimen dan sebagian lain mengandung sifat-sifat fosil. Hal itu mirip dengan lubang galian (burrow), trail, dan track. Karena itu, pem-bahasan yang lebih mendalam mengenai perlapisan stromatolit akan disajikan dalam struktur biogenik (sub bab 4.6).
Banyak material presipitasi—travertin, oniks (onyx), berbagai tipe tufa, dan caliche—memperlihatkan banding atau stratifi-kasi. Sebagian diantaranya mirip dengan perlapisan stromatolit (Westphal, 1957). Tipe perlapisan ini umumnya berkaitan dengan kemas kristal dan dengan beberapa tipe perlapisan diagenetik (diagenetic bedding), khususnya untuk beberapa tipe caliche (Multer & Hoffmeister, 1968). Hal itu akan dibahas lebih jauh pada Bab 12.
4.4  STRUKTUR BIDANG PERLAPISAN
Banyak struktur terbentuk pada bidang akumulasi sedimen. Walau demikian, banyak (kalau bukan sebagian besar) struktur itu tidak terawetkan sebagai struktur pada bidang perlapisan atas, melainkan sebagai cast pada bidang perlapisan bawah dari batuan yang terletak diatasnya. Hal itu terutama terjadi apabila material yang mengandung struktur itu berupa lumpur, sedangkan batuan yang terletak diatasnya berupa pasir. Jejak hujan (rain print), lekang kerut (mud crack), flute, dan groove terawetkan sebagai “cast” pada bidang perlapisan bawah batupasir. Di lain pihak, sebagian struktur dapat ditemukan baik pada bidang perlapisan bawah maupun bidang perlapisan atas. Gelembur, misalnya saja, dapat muncul sebagai struktur asli maupun sebagai cast pada bidang perlapisan bawah batupasir. Demikian pula dengan parting lineation. Struktur yang biasanya terbentuk pada bidang perlapisan atas lumpur umumnya hanya muncul sebagai struktur bidang perlapisan bawah (sole marks).
4.4.1  Struktur Bidang Perlapisan Bawah
Struktur bidang perlapisan bawah merupakan gejala yang menandai bidang perlapisan bawah pada beberapa lapisan batupasir dan, kadang-kadang, beberapa batugamping yang terletak di atas serpih. Struktur itu merupakan tonjolan-tonjolan yang terbentuk akibat terisinya lekukan-lekukan pada permukaan lumpur di atas mana lapisan batupasir itu diendapkan. Meskipun telah diketahui keberadaannya sejak lama (lihat Hall, 1843), namun asal-usulnya tidak banyak dipahami. Struktur itu benar-benar merupakan hieroglif dan baru-baru ini saja dipahami (Vassaevich, 1953; Kuenen, 1957; Dzulynski, 1963; Dzulynski & Sanders, 1962; Dzulynski & Walton, 1965). Penelitian-penelitian pertama terhadap struktur bidang perlapisan bawah diarah-kan pada pemerian, penggolongan, dan manfaatnya sebagai indikator arus purba. Usaha-usaha untuk memahami asal-usulnya membawa para ahli untuk sampai pada penelitian eksperimental (Dzulynski, 1966; Dzulynski & Walton, 1963; Allen, 1971).
Struktur bidang perlapisan bawah terbentuk akibat aksi arus, akibat deformasi yang dipicu oleh pembebanan, dan oleh organisme (tabel 4-1). Disini kita akan menujukan perhatian pada struktur yang terbentuk oleh arus. Struktur itu bisa dikelompok-kan ke dalam dua kategori: (1) struktur yang terbentuk akibat kerukan oleh arus; (2) struktur yang terbentuk akibat aksi material rombakan yang diangkut oleh arus. Kategori kedua ini biasa disebut sebagai tool marks.
4.4.1.1  Struktur Kerukan dan Tool marks
Kekukan arus menghasilkan flute yang, ketika terisi oleh pasir dan ketika material isian itu bergabung dengan lapisan pasir yang terletak diatasnya, disebut flute cast. Dengan demikian, flute cast akan muncul sebagai tonjolan pada bidang perlapisan bawah batupasir yang terletak di atas lapisan serpih. Tonjolan itu memiliki bentuk, ukuran, dan susunan yang beragam. Tonjolan itu memanjang, dimana salah satu ujungnya membonggol dan mengarah ke hulu, sedangkan ujung yang lain meruncing dan mengarah ke hilir. Tonjolan hilir makin lama makin landai dan akhirnya menghilang bersatu dengan bidang perlapisan. Flute cast memiliki panjang mulai dari sekitar 1 cm hingga sekitar 1 meter, dengan ketinggian mulai dari beberapa milimeter hingga beberapa centimeter. Sebagian flute cast demikian panjang; sebagian lain bentuknya cenderung segitiga. Ujung yang mem-bonggol kadang-kadang berbentuk seperti ujung hidung. Flute cast biasanya berkelompok; jarang ditemukan flute cast soliter. Setiap flute cast dalam kelompok itu dapat dipisahkan oleh jarak yang relatif lebar, namun dapat pula demikian rapat, bahkan dapat saling berpotongan (Kuenen, 1957).
Material pengisi flute adalah pasir. Dalam banyak kasus, material pengisi flute lebih kasar dibanding material lain yang penyusun lapisan dimana flute cast berada. Flute cast yang bentuknya kurang beraturan dapat mirip dengan struktur beban (load cast). Walau demikian, flute cast akan tampak memotong laminasi-laminasi pada lapisan yang terletak dibawahnya. Laminasi di sekeliling struktur beban, di lain pihak, terdeformasi dan tidak akan berakhir secara tajam pada sisi-sisi struktur beban. Sebagian flute cast memperlihatkan adanya bentuk-bentuk seperti teras. Hal itu mengindikasikan bahwa flute tersebut terbentuk oleh beberapa fasa erosi.
Flute agaknya terbentuk oleh eddy scour. Ketika kondisi aliran memungkinkan, terbentuk sejumlah eddy dan arus itu kemudian mengeruk permukaan lapisan lumpur yang terletak dibawahnya. Ukuran flute agaknya tergantung pada kondisi aliran. Ukuran flute juga agaknya berkaitan dengan kekasaran material itu dan, oleh karena itu, berkaitan dengan kekuatan arus. Flute cast sangat bermanfaat dalam penelitian arus purba. Meskipun flute dapat terbentuk pada lingkungan yang beragam, namun flute cast paling sering ditemukan di bagian bawah batupasir (dan batugamping) turbidit. Karena itu, flute seringkali menjadi salah satu penciri fasies flysch.
Struktur lain yang dihasilkan oleh kerukan arus (dan, oleh karena itu, berasosiasi dengan flute) adalah current crescent (Bahasa Jerman: Hufeisenwülste), yakni suatu lekukan berbentuk tapal kuda. Kerukan itu terbentuk akibat pengerukan di seputar partikel stasioner berukuran relatif besar (suatu “obstacle”), misalnya sebuah kerikil, yang terletak di permukaan pasir. Kerukan itu cembung ke hulu dengan kedalaman maksimum di sisi hulu partikel penghalang, kemudian kedalamannya makin berkurang ke hilir. Pada banyak kasus, partikel penghalang itu berupa gumpalan serpih yang kemudian tersapu sehingga tidak terawetkan.
Arus juga menggerakkan berbagai benda—butiran pasir, rangka binatang, gumpalan lumpur, dsb. Jika benda-benda itu terangkut di atas dasar lumpur, menggelundung, atau kadang-kadang terangkat dari permukaan, maka akan terbentuk jejak pergerakan yang kemudian terawetkan sebagai struktur positif lemah pada dasar batupasir yang menindih lumpur. Struktur seperti itu secara umum dinamakan tool marks.
Salah satu tipe tool mark adalah groove cast yang tampak sebagai tonjolan rektilinier, membundar hingga berpuncak tajam, serta terletak pada bidang perlapisan bawah batupasir. Sebagian groove cast berkelompok dan memperlihatkan adanya himpunan tonjolan dan lekukan yang dapat dipandang sebagai groove cast orde-2. Sebagian himpunan groove cast orde-2 itu memperlihatkan pola divergen dan tersebar secara simetris di kedua sisi groove cast utama. Struktur itu diperkirakan terbentuk akibat terjadinya pengisian lekukan-lekukan yang terbentuk pada lumpur keras oleh berbagai benda yang bergerak. Struktur seperti itu disebut juga struktur seretan (“drag mark”; “drag cast”) (Kuenen, 1957).
Groove cast umumnya muncul berkelompok. Lebih dari satu himpunan groove cast biasanya terlihat pada bidang yang sama, dimana himpunan kedua memotong himpunan pertama dengan sudut pemotongan yang lancip. Sebagian himpunan groove cast biasanya terhapuskan oleh himpunan groove cast kedua. Dalam satu himpunan groove cast, hanya akan ada sedikit bahkan mungkin tidak ada deviasi azimuth. Groove cast jarang muncul secara bersama-sama dengan flute cast; kedua struktur itu agaknya bersifat ekslusif satu terhadap yang lain. Individu-individu groove cast memperlihatkan relief hanya sekitar 1 atau 2 mm, sangat lurus, dan dalam kebanyakan singkapan tidak memperlihatkan titik awal maupun titik akhir. Karena itu, kita jarang menemukan “alat” yang bertanggungjawab terhadap pembentukan suatu groove cast.
Groove cast hendaknya dibedakan dari struktur geseran (slide mark; slide cast) yang terbentuk akibat bergeraknya suatu benda berukuran besar atau suatu massa benda berukuran relatif besar, misalnya rakit serpih (shale raft). Massa yang bergeser itu cenderung berputar baik pada arah vertikal maupun lateral sehingga jejak yang dihasilkannya melengkung dan mencermin-kan putaran itu. Groove cast tidak memperlihatkan sifat seperti itu; groove berasosiasi dengan tool mark lain seperti prod cast dan skip cast. Sebagaimana flute cast, groove cast paling sering ditemukan dalam bidang perlapisan bawah turbidit. Groove cast mungkin merupakan tipe struktur bidang perlapisan bawah yang paling sering ditemukan dalam fasies flysch.
Asal-usul groove cast telah menjadi teka-teki selama beberapa lama. Groove cast merupakan struktur yang dihasilkan oleh arus. Orientasi groove cast berkorelasi sangat baik dengan arah arus sebagaimana yang diindikasikan oleh struktur lain. Selain itu, bukti bahwa groove cast merupakan suatu tool mark terbukti dari fakta yang sangat jarang ditemukan, yaitu adanya partikel pasir atau fragmen rangka binatang pada ujung hilir dari groove cast. Walau demikian, detil-detil dinamika pembentukan groove cast masih belum jelas. Sebagian besar benda yang diangkut oleh arus bergerak dengan cara menggelundung atau melonjak-lonjak, sebagaimana yang diindikasikan oleh berbagai tipe jejak tumbukan. Pembentukan groove cast, di lain pihak, memerlukan adanya kontak menerus antara “alat” dengan dasar, bahkan memerlukan adanya tekanan. Selain itu, sebagaimana diindikasikan oleh groove berornamen, “alat” itu tidak melakukan pergerakan rotasional. Eddy menghasilkan flute, bukan groove. Dengan demikian, mekanisme pembentukan groove belum dipahami sepenuhnya.
Adanya himpunan-himpunan groove cast yang saling memotong juga merupakan sebuah masalah tersendiri. Groove diasumsikan terbentuk oleh arus turbid yang bergerak sebagai aliran pekat menuju bagian bawah lereng. Namun, jika suatu himpunan groove merekam pergerakan ke bagian bawah lereng, maka himpunan yang lain tidak akan merekam pergerakan ke arah bagian bawah lereng [karena arah kemiringan hanya satu; tidak mungkin bermacam-macam—pent.] Apakah himpunan-himpunan itu terbentuk oleh arus yang sama atau oleh arus yang berbeda-beda?
Karena sering ditemukan, groove merupakan salah satu indikator arus purba yang sangat bermanfaat. Walau demikian, groove hendaknya digunakan bersama-sama dengan struktur lain; groove hanya memberikan informasi mengenai azimuth, namun tidak memberikan informasi mengenai arah aliran.
Selain groove, ada pula kategori tool mark yang lain. Sebagian tool mark itu terbentuk oleh benda yang menumbuk dasar secara tidak menerus; tool mark lain menggelundung di dasar dan meninggalkan jejak yang khas. Tool mark yang terbentuk oleh tumbukan benda secara tidak menerus mencakup bounce cast, brush cast, dan prod cast. Bounce cast—yang disebut juga skip cast—merekam pergerakan saltasi suatu benda. Struktur itu tampak sebagai tonjolan-tonjolan kecil yang masing-masing dipisahkan oleh suatu jarak yang relatif teratur. Brush mark atau brush cast adalah istilah yang digunakan untuk menamakan struktur yang mirip dengan bounce cast, namun jarak antar tonjolannya tidak beraturan. Brush cast juga dicirikan oleh sedikit tonjolan material yang terangkat pada sisi hilir. Prod cast dicirikan oleh penetrasi dasar lumpur oleh suatu benda. Setelah menumbuk, benda itu berputar ke hilir. Karena itu, prod cast akan tampak sebagai suatu groove cast yang sangat pendek dengan ujung hilir yang lebih jelas dan berakhir secara tiba-tiba.
Roll mark merekam benda yang menggelundung. Roll mark yang sering ditemukan pada paket flysch adalah roll mark yang dihasilkan oleh rangka berulir planar yang agaknya berputar seperti roda dan, sebagaimana kembang pada ban mobil, menghasilkan jejak yang sangat khas (Seilacher, 1963).
4.4.1.2  Cast dari Lekang Kerut
Tipe struktur bidang perlapisan bawah lain, yang tidak berkaitan dengan aksi arus, adalah cast lekang kerut (mud crack cast). Lekang kerut berkembang dalam material kohesif, misalnya lumpur, akibat pengeringan dan pengerutan. Proses itu meng-hasilkan sistem retakan poligonal; retakan paling lebar terletak di permukaan dan ukuran retakan itu makin berkurang ke arah dalam sehingga apabila dilihat pada penampang melintang, retakan itu tampak membaji. Jika permukaan lumpur yang telah terlekang-kerutkan kemudian tertutup secara tiba-tiba dan terkubur di bawah pasir, maka pasir itu akan mengisi retakan-retakan yang ada dan akhirnya akan bersatu dengan lapisan pasir yang terletak di atas lumpur itu selama berlangsungnya litifikasi. Ketika paket serpih-batupasir itu kemudian terlapukkan, maka serpih yang ada di bawah lapisan batupasir itu akan tererosi dan jejak yang ditinggalkannya adalah suatu sistem tonjolan berbentuk poligonal pada bidang perlapisan bawah batupasir. Tonjolan-tonjolan itu memiliki puncak yang tajam. Sistem tonjolan itulah yang disebut cast lekang kerut.
4.4.1.3  Struktur Beban
Deformasi sedimen lunak (soft-sediment deformation) menghasilkan struktur yang beragam dan sebagian diantaranya berukuran relatif besar. Sebagian diantara struktur itu merupakan struktur bidang perlapisan bawah yang terbentuk akibat pembebanan tidak merata atau akibat stratifikasi densitas yang tidak stabil. Struktur yang dinamakan struktur beban (load cast atau, lebih tepat lagi, load pocket) itu akan dibahas pada bagian ini karena berasosiasi erat dengan strutkur bidang perlapisan bawah lain. Sebagian besar perlapisan deformasi, serta struktur yang dihasilkannya, akan dibahas pada sub bab 4.3.
Struktur beban adalah tonjolan yang bentuknya agak tidak beraturan dan ditemukan pada bidang perlapisan bawah batu-pasir yang terletak di atas lapisan serpih. Dilihat dari ukuran dan reliefnya, struktur beban mirip dengan flute cast. Walau demikian, struktur beban lebih tidak beraturan, tidak memperlihatkan kesetangkupan, dan tidak memperllihatkan orientasi sebagaimana flute cast. Struktur beban bukan merupakan “cast” karena tonjolan pasir ke bawah itu bukan merupakan produk pengisian suatu kerukan, melainkan akibat deformasi laminasi-laminasi pada tubuh lumpur yang terletak dibawahnya. Agaknya struktur ini merupakan produk pembebanan yang tidak merata terhadap lumpur hidroplastis yang terletak di bawah lapisan pasir, dimana struktur itu sendiri merupakan perwujudan vertical readjustment, dimana pasir melesak ke dalam sebagai tanggapan pergerakan lumpur ke atas. Pada kasus ekstrim, struktur ini mirip dengan karung yang digantung, dimana massa pasir yang melesak dihubungkan dengan lapisan pasir oleh suatu “tali gantungan” yang berupa kolom pasir berukuran kecil. Bahkan, pada kasus lain, kantung-kantung pasir menjadi terlepas dari lapisan induknya dan kemudian tenggelam ke dalam massa lumpur yang ada dibawahnya. Massa pasir seperti itu disebut load pouche dan, jika lepas, disebut load ball.
Proses pembentukan struktur beban kadang-kadang diawali oleh pembebanan tidak merata yang tidak berkaitan dengan proses sedimentasi. Jika sifat-sifat lumpur yang terletak dibawahnya sesuai, flute dan groove yang terbentuk di permukaan lumpur itu dapat tenggelam dan menghasilkan jejak-jejak yang dapat dianggap sebagai struktur beban. Bahkan, gelembur terisolasi (“starved” ripple; isolated ripple) dapat berperan sebagai beban yang tidak merata dan, di bawah kondisi yang sesuai, akan melesak ke dalam lapisan lumpur yang terletak dibawahnya (Dzulynski, 1962). Pada kasus yang disebut terakhir ini, ada pola yang teratur dan kita masih akan dapat melihat struktur internal yang semula merupakan bagian dari gelembur itu.
Struktur beban dapat terbentuk dalam setiap lingkungan dimana pasir diendapkan di atas lumpur hidroplastis yang dijenuhi air. Struktur beban sering ditemukan dalam paket turbidit. Meskipun demikian, dalam paket turbidit sekalipun, hanya sebagian saja yang memperlihatkan struktur beban. Ketika suatu massa turbid mengalir tidak lama setelah arus turbid sebelumnya berhenti, maka lumpur yang terletak dibawahnya tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengeluarkan semua air yang ada didalamnya. Karena itu, efek-efek pembebanan akan terlihat jelas. Jika rentang waktu yang memisahkan beberapa aliran relatif panjang, maka kompaksi alami akan memperkecil kemungkinan terbentuknya struktur beban.
4.4.2  Struktur Bidang Perlapisan Atas
Struktur bidang pelapisan atas (surface marks) mencakup berbagai tipe rill mark, struktur arus (current mark), dan struktur lain. Sebagian besar struktur itu terbentuk pada bidang perlapisan atas dari pasir. Struktur itu sendiri dapat muncul sebagai struktur normal yang terletak pada bidang perlapisan atas suatu batuan, atau sebagai struktur “negatif” atau sebagai “cast” yang terletak pada bidang perlapisan bawah endapan lain yang terletak di atas pasir. Gelembur, yang merupakan salah satu tipe struktur bidang perlapisan atas yang paling sering ditemukan, telah dibahas di atas. Struktur biogenik yang terletak pada bidang perlapisan atas akan dibahas pada sub bab 4.6. Lekang kerut juga akan dibahas pada bagian ini, meskipun cara pembahasan seperti itu mungkin agak kurang logis.
4.4.2.1  Parting lineation
Suatu jenis struktur yang sering ditemukan, namun kurang dikenal, adalah suatu struktur yang halus namun jelas terlihat pada bidang perlapisan beberapa batupasir yang berlapis tipis. Struktur itu terutama sangat jelas terlihat pada batupasir yang menjadi sumber flagstone. Struktur itu dinamakan primary current lineation oleh Stokes (1947). Cloos (1938) menyatakan bahwa struktur itu sejajar dengan arah arus pengendap. Karena paling jelas terlihat pada bidang-bidang yang menyuban, maka struktur itu kemudian dinamakan parting lineation oleh Crowell (1955).
Struktur itu terlihat sebagai sederetan lekukan dan tonjolan halus dengan relief yang sangat rendah serta terletak pada bidang perlapisan-penyubanan. Pada kasus lain, parting lineation kurang sempurna dan agak tidak beraturan, dimana sisa-sisa laminasi yang seperti plaster menempel pada bidang penyubanan. Istilah parting-step lineation digunakan oleh McBride & Yeakel (1963) untuk menamakan struktur pada kasus seperti itu untuk membedakannya dengan parting-plane lineation yang terlihat pada bidang yang lebih mulus. Kedua ahli itu menunjukkan bahwa arah rata-rata yang diperlihatkan oleh sumbu panjang partikel sejajar dengan arah lineasi. Stokes (1953) mengasumsikan bahwa struktur itu mengindikasikan “pembentukan dalam lingkungan sungai atau paling tidak pada aliran dangkal.” Sebenarnya, parting lineation juga dapat ditemukan dalam batupasir turbidit yang diendapkan di wilayah perairan-dalam.
4.4.2.2  Rill mark, Swash Mark, dan Struktur Lain yang Berasosiasi Dengannya
Permukaan pasir dapat memperlihatkan berbagai macam jejak kerja arus, namun banyak diantara jejak itu jarang terawetkan.  Rill mark adalah lekukan-lekukan kecil yang bercabang-cabang ke arah hulu dengan pola dendritik. Struktur itu umumnya ditemukan dalam swash zone pada gisik, meskipun dapat ditemukan pula pada gosong pasir dan sandflat. Struktur itu agaknya terbentuk oleh aliran air yang relatif tipis. Swash mark adalah garis-garis tipis, bergelombang, serta terbentuk pada gisik di dekat limit atas dari swash gelombang (Shrock, 1948).    “Gelembur” rhomboid (rhomboid “ripple” mark) adalah relief rendah dengan pola seperti jaring (Hoyt & Henry, 1963; Otvos, 1965) dan agaknya merupakan produk backwash pada gisik. Secara umum, rill mark, swash mark, dan “gelembur” rhomboid sangat jarang terawetkan dalam sedimen purba.
4.4.2.3  Rail Pit, Hail Pit, dan Spray Pit
Jejak hujan (rain impression; rain print), jejak tetesan air (drip impression), dan jejak percikan air (spray impression) adalah lekukan kecil berbentuk lingkaran atau elips yang terbentuk dalam lumpur basah oleh hujan, tetesan air, dan percikan air. Jejak hujan pernah ditemukan dalam endapan purba, umumnya sebagai cast pada bidang perlapisan bawah batupasir dan batulanau. Sebagaimana lekang kerut, jejak hujan, jejak tetesan air, dan jejak percikan air mengindikasikan penyingkapan di permukaan dan kemudian besar akan terawetkan dalam endapan terestrial. Jejak gelembung gas (bubble impression) mirip, dan oleh karena itu, dapat tertukar dengan jejak hujan.
4.4.2.4  Lekang Kerut
Sebagian bidang perlapisan ditandai oleh retakan-retakan poligonal yang kemudian terisi oleh pasir atau lanau. Batuan yang menjadi tempat pembentukan retakan itu semula berupa lumpur dan sistem retakan itu sendiri berkembang akibat pengerutan. Pengerutan lumpur itu sendiri pada umumnya terjadi akibat lepasnya air yang semula ada dalam lumpur akibat pengeringan. Dengan demikian, pembentukan lekang kerut mengimplikasikan penyingkapan di permukaan. Karena itu, retakan-retakan tersebut dinamakan retakan pengeringan (desiccation crack) atau sun crack. Tidak semua sedimen yang mengalami pengerutan merupakan sedimen argilit. Lekang kerut juga dapat ditemukan dalam batugamping mikrit (micritic limestone) dan mungkin dapat terisi oleh lanau gamping, bahkan oleh lanau dan pasir dolomit. Lekang kerut yang terbentuk pada lumpur argilit kemungkinan besar akan terlihat sebagai cast pada bidang perlapisan bawah batupasir yang menindihnya; lekang kerut dalam lumpur gamping kemungkinan besar akan terawetkan sebagai struktur bidang perlapisan atas.
Ukuran poligon, lebar retakan, dan kedalaman retakan sangat bervariasi. Poligon retakan itu dapat memiliki lebar mulai dari beberapa milimeter hingga lebih dari 30 cm, sedangkan lebar retakan berkisar mulai dari 1 mm hingga sekitar 5 cm. Kedalaman retakan itu sendiri dapat berkisar mulai dari sekitar 1 cm hingga beberapa puluh centimeter. Pola jaringan retakan (apakah membentuk pola yang “kasar” atau “halus”) mungkin berkaitan dengan ketebalan lapisan yang mengalami pengeringan.
Retakan itu biasanya membaji ke bawah dan umumnya diisi oleh pasir atau material lain yang relatif kasar. Jika lapisan yang mengalami pengeringan relatif tipis (beberapa milimeter), retakan itu mungkin dapat menembus lapisan lain yang terletak di bawah lapisan itu. Dengan demikian, pada kasus itu, poligon-poligon lekang kerut dapat terlepas, sedikit terpindahkan, terotasi, bahkan terbalik dan kemudian terangkat oleh aliran yang mengendapkan pasir yang terletak di atas lapisan lumpur itu untuk akhirnya diendapkan bersama-sama dengan lapisan pasir tersebut. Hal itulah yang kemudian menyebabkan terbentuknya shale-pebble conglomerate dengan matriks berupa pasir.
Pada banyak kasus, menampang melintang pasir yang menjadi material pengisi retakan memperlihatkan bahwa baji-baji pasir itu terdeformasi sedemikian rupa sehingga terkontorsi. Sisi atas dari baji-baji pasir itu bahkan tampak menembus lapisan lain yang terletak diatasnya. Kontorsi itu terbentuk ketika material pengisi yang tidak dapat terkompaksi mencoba untuk mengakomodasi dirinya sendiri terhadap kompaksi dan pengurangan ketebalan material dimana baji material pengisi itu berada. Kontorsi itu dapat digunakan untuk melakukan taksiran kuantatif terhadap kompaksi (Shelton, 1962).
Karena terbentuk akibat pengeringan, lekang kerut tidak dapat terbentuk pada pasir murni. Pasir murni tidak mengalami pengurangan volume ketika mengering. Lekang kerut tidak dapat terawetkan; apa yang dapat terawetkan adalah material pengisinya. Karena itu, apa yang sebenarnya terawetkan adalah cast dari lekang kerut. Batuan lempungan yang terlekang-kerutkan biasanya hancur dan hilang, namun keseluruhan sistem retakan dapat terawetkan dalam batupasir yang terletak diatasnya sebagai tonjolan-tonjolan berpuncak lurus yang membentuk suatu sistem jaringan berpola poligonal. Dengan demikian, cast dari lekang kerut itu akan ditemukan pada bidang perlapisan bawah dari batupasir.
Sistem retakan poligonal dinisbahkan pada pengeringan sejalan dengan hilangnya air dari massa lumpur. Secara umum, hal itu mengimplikasikan penyingkapan di permukaan. Walau demikian, sebagian sistem retakan dinisbahkan pada dehidrasi spontan material yang mirip dengan gel. Hal itu dapat terjadi pada lingkungan akuatis. Proses itulah yang digunakan untuk menjelaskan sistem retakan dalam septaria dan nodul rijang (Taliaferro, 1934). Sistem retakan seperti itu disebut synaeresis crack. Synaeresis digunakan untuk menjelaskan retakan-retakan dalam batulumpur tertentu, khususnya batulumpur dengan komposisi yang luar biasa, misalnya batulumpur dolomit (dolomitic mudstone). Secara umum, retakan seperti itu diyakini merupakan gejala khas yang hanya dapat terbentuk pada material yang bentuknya mirip dengan gel (White, 1961; Burst, 1965). Kriteria untuk membedakan lekang kerut biasa dengan synaeresis crack tidak terlalu jelas. Walau demikian, jelas bahwa sistem retakan radial dalam benda noduler memiliki asal-usul yang jauh berbeda dengan jaringan poligonal yang terisi oleh pasir sebagaimana yang dapat ditemukan dalam batulumpur biasa.
Lingkungan yang paling sesuai untuk pembentukan lekang kerut adalah zona interpasut (intertidal zone), danau playa efemeral, dan mud flat di dataran limpah banjir. Barrell (1906) berkeyakinan bahwa kemungkinan terawetkannya lekang kerut yang terbentuk pada tidal flat relatif rendah dan, oleh karena itu, “… lekang kerut mengimplikasikan indikasi satu-satunya dan yang paling meyakinkan asal-usul terestrial untuk sedimen argilit.”
4.5  PERLAPISAN DEFORMASI DAN PERLAPISAN TERGANGGU
Perpindahan massa batuan yang dipicu oleh gaya gravitasi dapat terjadi selama berlangsungnya sedimentasi atau tidak lama setelah sedimentasi berakhir. Deformasi itu mengubah atau menyebabkan terdeformasinya struktur pengendapan. Perlapisan secara khusus dapat terganggu, bahkan terhancurkan akibat proses-proses tersebut. Banyak efek deformasi itu menyebabkan ketidakstabilan yang, pada gilirannya, memicu terjadinya pergerakan di bawah pengaruh gaya gravitasi. Ada tiga situasi yang mungkin muncul. Pada situasi pertama, pergerakan pada dasarnya vertikal, dimana terjadi perpindahan material dengan pola yang mirip dengan konveksi. Proses itu diawali dengan adanya stratifikasi densitas yang tidak stabil dari material penyusun batuan, misalnya saja, akibat diendapkannya lapisan pasir di atas lapisan lumpur atau lanau yang jenuh air. Jika material yang terletak di bawah itu kemudian mengalami transformasi tiksotrofi (thixotrophic transformation), yang disertai penghilangan kekuatan material itu, maka akan terbentuk sederetan sel konveksi yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya pergerakan pasir ke arah bawah dan pergerakan lanau atau lempung ke atas (Artyushkov, 1960a, 1960b; Anketell dkk, 1970). Perlu diketahui bahwa pergerakan lanau atau lempung ke atas itu merupakan bentuk reaksi terhadap pergerakan pasir ke arah bawah. Pergerakan-pergerakan vertikal tersebut dapat terjadi dengan lambat, namun dapat pula cepat dan katastrofis.
Pada situasi lain, lereng pengendapan yang sangat curam dapat menjadi tidak stabil. Pergerakan yang dihasilkan oleh curamnya lereng pengendapan sebagian besar memiliki komponen lateral yang besar dan, oleh karena itu, menghasilkan pergerakan material pada arah yang hampir horizontal. Perpindahan seperti itu, apabila berlangsung lambat, disebut rayapan (creep). Apabila cepat, pergerakan itu dinamakan longsor (slide) atau nendat (slump). Proses perpindahan lateral itu sendiri dapat terjadi baik pada lingkungan terestrial maupun lingkungan akuatis.
4.5.1  Struktur Beban dan Struktur Bantal-Guling
Peneraan vertikal berskala kecil dapat menyebabkan terbentuknya struktur beban (load cast) yang telah dijelaskan di atas. Pada kasus ekstrim, dapat terbentuk load pouche atau load ball. Lidah-lidah serpih yang menembus pasir yang terletak diatas-nya menyebabkan terbentuknya struktur lidah api (flame struktur). Pada beberapa kasus, “lidah” serpih itu memperlihatkan pem-balikan ke satu arah, bahkan memperlihatkan pola putaran, seolah-olah terbentuk akibat lateral stress.
Sebagian batupasir, sebagaimana juga sebagian aliran lava di bawah kolom air, memperlihatkan struktur bantal (pillow structure). Dengan adanya struktur itu, pasir tampak sebagai paket-paket yang jumlahnya banyak, terpisah-pisah, dan berbentuk seperti bantal dan guling. Benda seperti itu dapat disebut “nodul semu” (“pseudonodule”) (Macar, 1948) dan “bantal lutut” (“hassock”). Benda itu juga disebut “flow roll” (Sorauf, 1965). Struktur bantal-guling bukan merupakan struktur pengendapan, melainkan struktur deformasi yang terbentuk sebelum lapisan diatasnya diendapkan. Meskipun biasanya ditemukan dalam batupasir tertentu, namun struktur bantal-guling juga ditemukan dalam batugamping tertentu (yakni batugamping yang sebenar-nya merupakan pasir ketika diendapkan).
Struktur bantal-guling biasanya hanya mempengaruhi bagian bawah dari lapisan batuan. Individu-individu bantal dan guling memiliki diameter mulai dari beberapa centimeter hingga lebih dari 1 meter. Benda itu umumnya berbentuk bulat panjang atau elipsoid. Kadang-kadang benda itu berbentuk seperti ginjal, bahkan seperti jamur terbalik. Struktur yang bentuknya mirip dengan mangkok atau struktur cekungan (basinal structure) cembung ke bawah dan dalam banyak kasus sedikit miring, namun tidak rebah. Laminasi yang ada dalam bantal dan guling itu terdeformasi dan lebih kurang sejajar dengan setengah bagian bawah bantal atau guling itu. Bantal dan guling itu sebagian atau seluruhnya terpisahkan dari bantal dan guling lain. Pada bantal dan guling yang benar-benar terpisah dari yang lain, bantal dan guling itu dikelilingi oleh serpih atau lanau yang berasal dari lapisan lain yang berdampingan dengannya.
Bantal dan guling itu jelas bukan konkresi, bukan pula produk pelapukan mengulit bawang (spheroidal weathering). Struktur itu juga bukan merupakan produk nendatan sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli. Simetri dan orientasi bantal dan guling itu mengimplikasikan terjadi pergerakan vertikal (dalam hal ini pergerakan ke bawah), bukan pergerakan lateral. Kantung pasir yang berbentuk seperti cawan atau ginjal dapat terbentuk akibat tenggelamnya massa pasir ke dalam substrat yang relatif cair seperti yang ditunjukkan melalui percobaan yang dilaksanakan oleh Kuenen (1958). Penelitian lapangan akhir-akhir ini terhadap struktur bantal-guling dalam batuan Devon di New York (Sorauf, 1965) dan tempat lain (Howard & Lohrengel, 1969) mendukung konsep yang menyatakan bahwa struktur bantal-guling terbentuk akibat melesaknya massa pasir ke dalam substrat lumpur; bukan akibat nendatan. Proses itu mungkin berlangsung secara tiba-tiba atau katastrofis.
4.5.2  Synsedimentary Fold dan Synsedimentary Breccia
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sedimen juga dapat dikenai oleh pergerakan-pergerakan yang dipicu oleh gaya gravitasi yang memiliki komponen lateral yang besar. Disini kita hanya akan menujukan perhatian pada deformasi yang terjadi sewaktu sedimen masih berada dalam lingkungan pengendapannya. Dengan demikian, kita tidak akan membahas tentang deformasi tektonik dan deformasi lain yang berlangsung setelah itu. Nendat atau longsor itu menghasilkan lipatan, sesar, dan breksi dalam material yang dikenai oleh gaya. Karena struktur seperti itu juga dapat dihasilkan oleh deformasi tektonik, dan mungkin juga oleh synsedimentary processes lain, kita perlu membahas tentang kriteria yang dapat digunakan untuk membeda-kan deformasi “sedimen lunak” (“soft-sediment” deformation) dari deformasi tektonik. Pembedaan itu pada umumnya tidak sukar untuk dilakukan, namun ada beberapa situasi yang menyebabkan proses pembedaan itu sukar untuk dilaksanakan (Miller, 1922). Struktur yang terbentuk sebelum sedimen terkonsolidasi biasanya hanya terbatas pada lapisan tertentu, bahkan dalam kasus tertentu hanya berlangsung secara terbatas pada lapisan yang tebalnya 1 atau 2 cm. Berbeda dengan lipatan seret (drag fold), struktur itu tidak memiliki kaitan apapun dengan struktur lain yang ukurannya lebih besar atau dengan pola tektonik dimana batuan itu berada. Hal lain yang menjadi pembeda adalah tidak adanya material pengisi urat, baik pada sesar mikro (microfault) maupun pada ruang diantara partikel-partikel breksi. Pada kebanyakan kasus, lipatan yang terbentuk berskala kecil dan umum-nya terpancung atau berakhir pada bidang perlapisan. Hal itu mengindikasikan bahwa lipatan itu pernah terbentuk, namun kemudian tererosi sebelum diendapkannya lapisan yang menindihnya. Semua struktur yang terbentuk sebelum batuannya terkonsolidasi diasumsikan terbentuk oleh komponen gaya gravitasi yang mengarah ke bawah lereng. Jika memang demikian halnya, maka struktur itu menjadi kriterion untuk menentukan arah lereng dan, oleh karena itu, harus diamati dan dipetakan dengan hati-hati. Kebenaan paleogeografi dari struktur-struktur itu telah dipaparkan oleh Kuenen (1952), Murphy & Schlanger (1962), Marschalko (1963), Scott (1966), serta Hubert (1966).
Ada beberapa cara lain yang menyebabkan terbentuknya perlapisan deformasi. Sebagian lipatan sedimen lunak dinisbah-kan pada kandasnya gunung es, terdorongnya pesisir massa es, dsb. Meskipun deformasi sedimen lunak sering ditemukan dalam endapan glaciolacustrine, namun struktur seperti itu juga muncul dalam endapan dimana aksi es sangat tidak mungkin terjadi. Gaya gravitasi sering menghasilkan struktur sedimen lunak.
Perlipatan sedimen lunak sering terjadi pada banyak sedimen. Struktur itu banyak ditemukan dalam paket pasir-serpih yang berlapis tipis. Lipatan nendat (slump fold) dan breksi nendat (slump breccia), di lain pihak, sering ditemukan dalam paket batugamping, terutama yang ada di sekitar terumbu.
Sebagaimana dikemukakan oleh Rich (1950), ada beberapa tipe synsedimentary fold. Salah satu varietas lipatan itu hanya berkembang secara terbatas pada satu lapisan batupasir atau satu lapisan batulanau yang tipis, baik batupasir dan batulanau silikaan maupun batupasir dan batulanau gampingan. Dalam lipatan seperti itu, stratum itu sendiri tidak terlibat; hanya laminasi internalnya saja yang terkontorsi. Struktur yang disebut perlapisan konvolut (convolute bedding) itu memiliki asal-usul yang belum dapat dipastikan, dan mungkin tidak disebabkan oleh nendatan. Hal ini akan dibahas pada bagian lain dari buku ini.
Berbeda dengan perlapisan konvolut, perlipatan nendat biasanya melibatkan lebih dari satu lapisan. Tipe perlipatan itu, yang telah dibahas dengan cukup mendalam oleh Hadding (1931), mempengaruhi banyak lapisan dan agaknya merupakan produk pengaliran massa batuan. Jika proses pengaliran berlangsung cukup lama, maka sebagian lapisan dapat terhancurkan, bahkan semua lapisan dapat terhancurkan sedemikian rupa sehingga akhirnya terbentuk konglomerat semu (pseudoconglomerate) dan breksi. Jika pergerakan terdistribusikan di seluruh bagian massa batuan, maka lapisan-lapisan tipis yang relatif kompeten akan terpecah-pecah menjadi fragmen tidak beraturan yang ukurannya bervariasi. Pada beberapa kasus, fragmen-fragmen itu hanya memperlihatkan sedikit pemisahan dan tidak memperlihatkan rotasi. Pada kasus lain, fragmen-fragmen itu terotasi dan terpilin sehingga bentuknya menjadi seperti kail. Fragmen-fragmen seperti itu dinamakan slump overfold oleh Crowell (1957). Slump overfold dan spiral slump ball itu, atau yang disebut sebagai “struktur bola salju” (“snow ball structure”) oleh Hadding (1931), dapat memberikan petunjuk mengenai arah longsoran. Hasilnya adalah tekstur khaotik yang, bersama-sama dengan kadar air yang tinggi, dapat memiliki mobilitas tinggi dan berevolusi menjadi aliran lumpur dan menyebabkan terbentuknya “pebbly mudstone” (Crowell, 1957) atau tilloid. Endapan itu akan dibahas lebih jauh pada Bab 8.
Pada kasus lain, nendatan menyebabkan terbentuknya perlipatan ketat (tight folding) pada lapisan yang terletak di atas suatu detachment surface. Pergerakan tipe décollement itu, di atas bidang perlapisan bawah, menghasilkan struktur yang mirip dengan nappe. Struktur yang disebut terakhir ini disertai dengan pelemahan, bahkan hiatus, pada detachment area di bagian hulu. Struktur itu sering ditemukan dalam lempung warwa dalam danau proglacial Plistosen (van Straaten, 1949; Fairbridge, 1947).
Endapan nendat dapat demikian tebal dan memiliki penyebaran yang luas. Ksiazkiewicz (1958) pernah menemukan endapan nendat yang tebalnya 55 m. Crowell pernah menemukan lapisan nendat (slump bed) berukuran besar dalam endapan Kapur di California. Sebagian slump sheet cukup tebal untuk dapat dipetakan (Jones, 1937) dan tersebar pada daerah yang luasnya beratus-ratus kilometer persegi. Sebagian besar endapan nendat yang ditemukan dalam rekaman geologi agaknya merupakan endapan bahari.
Nendatan dalam sedimen gampingan tidak jauh berbeda dengan nendatan dalam sedimen klastika. Struktur longsoran (slide structure), yang bervariasi mulai dari kontorsi skala kecil hingga lipatan berskala besar dengan amplitudo 10–15 m serta breksi kasar dengan ketebalan 10–15 m dan menyebar pada wilayah yang luasnya beberapa ratus kilometer persegi, pernah ditemukan dalam batugamping Perm pada Guadalupe Reef complex di New Mexico (Newell dkk, 1953; Rigby, 1958). Breksi batugamping di Pegunungan Alpina berasosiasi dengan graded limestone, atau apa yang disebut sebagai batugamping alodapik (allodapic limestone) oleh Meischner (1964), dinisbahkan oleh Kuenen & Carozzi (1953) pada nendatan dan longsoran pada reef front.
4.5.3  Korok dan Retas Batupasir
Di lapangan kita tidak jarang dapat menemukan korok kecil yang diisi oleh pasir, memotong bidang perlapisan, dengan panjang beberapa centimeter. Sebenarnya itu merupakan lekang kerut yang terisi oleh pasir. Korok itu kemudian bergabung dengan lapisan batupasir yang terletak diatasnya dan, setelah serpih yang terletak di bawah batupasir itu tererosi, tampak sebagai suatu sistem cast dari lekang kerut yang berbentuk poligonal. Itu merupakan struktur sedimen berskala kecil. Namun, jika korok itu memiliki ketebalan beberapa meter dan dapat ditelusuri keberadaannya hingga beberapa ratus meter atau bahkan beberapa ribu meter, “korok” itu sebenarnya merupakan tubuh batuan yang substansial. Korok batupasir, dan retas batupasir yang ber-asosiasi dengannya, akan dibahas panjang lebar pada Bab 5.
4.5.4  Perlapisan Konvolut
Perlapisan konvolut (convolute bedding), yang disebut juga laminasi konvolut (convolute lamination) atau slip bedding, merupakan struktur deformasi yang masih menjadi teka-teki. Rich (1950) menamakan struktur itu sebagai kontorsi intrastrata (intra-stratal contortion). Penamaan seperti itu agaknya lebih sesuai untuk memaparkan fenomena tersebut. Perlapisan konvolut memang merupakan kontorsi intrastrata dan hanya melibatkan laminasi yang ada di bagian dalam suatu lapisan, namun tidak melibatkan bidang perlapisan.
Perlipatan konvolut (convolute folding) agaknya hanya ditemukan dalam lapisan lanau kasar dan pasir halus dengan ketebalan 2–25 cm. Dalam lapisan seperti itu, baik yang disusun oleh material gampingan maupun material silikaan, terdapat himpunan lipatan yang kompleks. Individu-individu laminasi dapat ditelusuri dari satu lipatan ke lipatan lain, meskipun banyak juga ditemukan ketidakselarasan kecil. Secara umum, sinklin cenderung lebar dan berbentuk-U, sedangkan antiklin yang terletak diantara dua sinklin ketat dan memperlihatkan kehadiran puncak lipatan. Lipatan konvolut cenderung menghilang ke atas dan ke bawah lapisan. Pada beberapa kasus, antiklin tampak terpancung oleh erosi.
Distorsi-distorsi tersebut di atas bukan merupakan lipatan biasa karena pola bidang perlapisan tidak memperlihatkan kesinambungan puncak lapisan. Struktur itu merupakan sederetan kubah dan cekungan yang tajam. Pola itu mengindikasikan suatu sistem pergerakan vertikal yang kompleks, bukan displacement lateral. Geometri struktur itu, bersama-sama dengan penyebarannya yang hanya terbatas pada suatu lapisan serta hanya terjadi pada material dengan ukuran tertentu (lanau kasar atau pasir halus), agaknya mengindikasikan bahwa struktur itu terbetnuk akibat internal readjustment material tersebut ketika masih berada dalam keadaan likat atau hampir likat.
Banyak teori diajukan untuk menjelaskan struktur itu (lihat Potter & Pettijohn, 1963) dan agaknya tidak satupun teori itu memuaskan semua pihak. Perlapisan konvolut umumnya berasosiasi dengan lanau dan pasir yang mengandung gelembur, dimana ripple bedding itu sendiri tersungkupkan, bahkan mengalami pembalikan. Hal lain yang masih menjadi permasalahan adalah perbedaan antara perlapisan konvolut yang sebenarnya dengan struktur deformasi lain.
4.6  STROMATOLIT DAN STRUKTUR BIOGENIK LAINNYA
4.6.1  Stromatolit
Istilah stromatolit (stromatolite), yang agaknya berasal dari Bahasa Jerman Stromatolith (digunakan pertama kali oleh Kalkowsky, 1908, h. 68), berarti struktur laminasi dalam sedimen berukuran pasir, lanau, dan lempung yang terbentuk akibat penjebakan dan pengikatan partikel detritus oleh algamat. Istilah stromatolit ganggang (algal stromatolite) mungkin lebih tepat. Secara umum, material partikuler yang diikat oleh ganggang itu merupakan material gampingan, meskipun dapat juga material lain (Davis, 1968). Struktur itu bervariasi, mulai dari laminasi datar, yang perlu diamati secara seksama untuk membedakannya dari laminasi biasa, hingga berbentuk tonjolan kecil dengan ukuran dan derajat kecembungan yang beragam, hingga struktur seperti kolom yang tidak jauh berbeda dengan tumpukan mangkok terbalik, hingga bentuk-bentuk yang memperlihatkan per-cabangan. Selain stromatolit, yang merupakan struktur yang tetap atau terikat, ada juga onkolit (oncolite) yang mobil dan dapat bergerak bebas. Onkolit adalah struktur berornamen yang dilihat sekilas mirip dengan konkresi.
Selain itu ada juga struktur yang memiliki bentuk eksternal dan ukuran yang sama dengan stromatolit setengah-bola (hemispherical stromatolite), namun tidak memiliki laminasi internal. Struktur itu disebut trombolit (thrombolite). Istilah yang disebut terakhir ini diusulkan karena struktur itu memiliki struktur internal yang mirip dengan kumpulan partikel (Aitken, 1967).
Tidak mungkin bagi kita untuk membahas semua lapangan stromatologi (stromatology). Penjelasan yang mendalam tentang struktur ini dapat diperoleh dari karya Hofmann (1969). Setiap ahli sedimentologi hendaknya mengenal perlapisan stromatolit (stromatolitic bedding) dan berbagai bentuk stromatolit-semu yang dihasilkan oleh proses-proses anorganik.
Penggolongan dan tatanama stromatolit tumbuh dengan cepat dan menjadi demikian kompleks. Para peneliti di masa lalu menganggap struktur ini sebagai fosil dan menerapkan nama-nama generik dan spesifik untuk setiap struktur. Waktu itu diperkirakan bahwa stromatolit dihasilkan oleh sekresi organisme dan terbentuk oleh organisme tertentu. Pendapat itu ditentang oleh beberapa ahli dan kemudian muncul konsep baru yang menyatakan bahwa algamat yang bertanggungjawab terhadap pembentukan stromatolit mungkin merupakan suatu kompleks beberapa jenis ganggang biru dan hijau-biru yang bersel satu dan berfilamen. Bentuk dan ukuran suatu stromatolit tergantung pada faktor-faktor lingkungan, bukan pada faktor-faktor genetik. Dengan demikian, nama-nama generik tidak akan sahih digunakan untuk menamakan stromatolit karena nama-nama itu hanya merujuk pada berbagai bentuk yang diasumsikan merupakan akumulasi sedimen yang terjebak dan dipandang tidak berkaitan dengan organisme tertentu. Stromatolit bukan merupakan fosil ganggang. Fosil ganggang berbeda dengan stromatolit (Rezak, 1957) karena fosil ganggang memiliki struktur rangka yang dapat dikenal, misalnya dinding sel dan organ reproduksi, sedangkan stromatolit ganggang merupakan tekstur fragmental yang berlaminasi halus.
Ada beberapa ahli yang mencoba untuk menggolongkan dan menamakan berbagai bentuk pertumbuhan (Hofmann, 1969; Logan dkk, 1964; Maslov, 1953; Aitken, 1967). Stromatolit ganggang bervariasi mulai dari pisolit semu berukuran kecil hingga tonjolan berbentuk biskuit atau bunga kol yang berukruan relatif besar (gambar 4-14). Konkresi-semu yang dinisbahkan pada ganggang berkisar mulai dari benda berbentuk seperti bola dengan diameter 0,5–1,0 cm hingga onkolit yang ukurannya lebih besar, agak pipih, dan memiliki outer coating yang lebih tidak beraturan. Pertumbuhan biasanya tidak sama di setiap sisi, kecuali pada jenjang awal. Pertumbuhan lanjut paling efektif terjadi pada sisi atas dan jika karena suatu hal onkolit itu menggelinding, maka pertumbuhan baru mungkin akan terjadi pada sisi yang berlawanan dengan sisi pertumbuhan pertama. Sebagian pisolit merupakan pisolit komposit. Maksudnya, pisolit itu disusun oleh beberapa benda yang ukurannya lebih kecil dan tumbuh bersama-sama, kemudian terselimuti pada tahap pertumbuhan selanjutnya. Inti dari struktur itu mungkin merupakan zat asing. Pada beberapa kasus, inti itu merupakan sepotong zat ganggang.
Kerak ganggang (algal crust) biasanya mengandung laminasi sederhana dan umumnya merupakan kerak berkerut yang dapat berubah secara berangsur menjadi massa noduler. Kerak itu mungkin hampir datar, pada dasarnya sejajar dengan bidang perlapisan (stromatolit tipe “Weedia”); sedikit melengkung, dengan diameter beberapa centimeter dan tinggi sekitar 1 cm; atau berbentuk setengah bola hingga seperti bunga kol dengan nilai ketinggian yang sama atau lebih besar daripada nilai lebarnya. Beberapa stromatolit berbentuk setengah bola yang lebih besar, dengan diameter beberapa decimeter, dan dapat berubah bentuknya ke atas menjadi struktur seperti bunga kol. Pada kasus lain, kolom atau jari menyebar ke dalam dua atau lebih cabang yang mengarah ke atas.
Sebagian struktur ganggang memperlihatkan pertumbuhan asimetris. Kepala stromatolit tidak membundar, melainkan eliptis; pemanjangan terjadi pada arah yang sejajar dengan sistem arus (Hoffman, 1967). Drapeover lamination juga mencerminkan pertumbuhan asimetris dan tampak lebih tebal pada sisi yang mengarah ke hulu.
Sebagian struktur stromatolit yang kompleks memiliki ukuran yang besar. Individu-individu stromatolit mengolom mungkin tingginya beberapa meter atau lebih. Walau demikian, setiap kolom itu kemungkinan besar tidak memiliki relief lebih dari 1 meter ketika tumbuh. Ketinggian kolom-kolom itu diperoleh akibat pertumbuhan ke atas dari struktur selama berangsungnya sedimentasi. Bioherm ganggang yang berukuran besar, dengan ketebalan hingga sekitar 18 m dan lebar 60 m, pernah ditemukan dalam batugamping Prakambrium (Hoffman, 1969).
Hubungan antara satu kepala stromatolit dengan kepala stromatolit lain, serta dengan sedimen yang ada disekelilingnya, bervariasi. Pada beberapa kasus, laminasi internal dari satu stromatolit dapat ditelusuri hingga mencapai batuan samping dan tampaknya berhubungan dengan kolom stromatolit lain. Pada kasus lain, tidak ada hubungan antara kolom stromatolit dan material antar stromatolit itu merupakan pasir karbonat fragmental. Kepala stromatolit jarang bersifat soliter. Secara umum, kepala stromatolit relatif berdekatan satu sama lain dan bersatu dalam suatu batuan yang dicirikan oleh satu jenis stromatolit.
Istilah trombolit (thrombolite) diusulkan oleh Aitken (1967) untuk menamakan cryptalgal structure yang erat kaitannya dengan stromatolit, namun tidak memperlihatkan laminasi serta dicirikan oleh clotted fabric makroskopis. Dilihat dari bentuk luar dan ukurannya, trombolit mirip dengan stromatolit.
Stromatolit pada dasarnya merupakan perlapisan yang telah terubah—perlapisan yang terubah oleh aktivitas algamat. Di bawah kondisi yang beragam, algamat menghasilkan struktur yang juga beragam. Di bawah mikroskop, satu-satunya struktur yang dapat terlihat adalah laminasi yang sejajar dengan permukaan stromatolit. Laminasi itu umumnya tipis, dengan ketebalan sektiar 1 mm atau kurang, serta ditandai oleh konsentrasi material karbonat atau material rombakan lain. Bahkan partikel lanau kuarsa juga dapat terjebak dalam laminasi itu.
Stromatolit dan struktur lain yang berkaitan dengannya yang dapat ditemukan dalam batugamping Prakambrium hingga resen. Kenampakan yang paling baik, dengan kelimpahan yang jauh lebih tinggi, dapat ditemukan dalam batuan yang relatif tua, khususnya batuan Prakambrium dan Paleozoikum awal. Relatif jarang ditemukannya stromatolit dalam strata Fanerozoikum akhir dinisbahkan pada penghancuran algamat oleh binatang yang bergerak menyusur dasar, misalnya keong, serta peng-hancuran laminasi ganggang oleh organisme pembuat lubang (Garrett, 1970). Diasumsikan bahwa organisme seperti itu belum ada pada Prakambrium serta tidak ada pada waktu-waktu kemudian jika salinitas atau faktor-faktor lingkungan lain menghambat atau menghancurkan biota seperti itu.
Asal-usul stromatolit, sebagai produk aktivitas ganggang, baru dapat dimantapkan pada beberapa tahun belakangan. Black (1933), yang melakukan penelitian di Bahama, adalah orang pertama yang dapat meletakkan dasar-dasar pengetahuan bahwa stromatolit merupakan struktur sedimen organik. Penemuan stromatolit yang terlitifikasi pada masa sekarang di Shark Bay, Australia Barat, menghilangkan keraguan mengenai asal-usul stromatolit sebagai produk aktivitas ganggang (Logan, 1961). Penelitian-penelitian akhir-akhir ini terhadap stromatolit masa kini di Bermuda dan Bahama mampu memberikan detil-detil pengetahuan mengenai perkembangan algamat dan penjebakan sedimen (Gebelein, 1969). Pengamatan-pengamatan terhadap stromatolit, baik stromatolit masa kini maupun stromatolit purba, menunjukkan bahwa strukutr itu terbentuk pada wilayah perairan yang sangat dangkal. Karena kerut-merut yang terlihat pada laminasi ganggang dinisbahkanp ada pengeringan, maka wilayah perairan itu harus sangat dangkal. Karena itu, lingkungan tersebut mungkin berupa lingkungan interpasut (intertidal). Ganggang tampaknya tidak terbatasi baik oleh salinitas maupun temperatur air. Asosiasi yang erat antara stromatolit dengan batugamping berlekang-kerut, flat-pebble conglomerate, dan oolit juga mengindikasikan lingkungan perairan yang sangat dangkal. Ketidaksetangkupan yang diperlihatkan oleh sebagian stromatolit menyebabkan struktur itu dapat berperan sebagai indikator arus purba yang sangat baik. Kecembungan stromatolit ke arah atas juga menjadi sebuah kriterion yang baik untuk menentukan posisi stratigrafi pada paket batuan vertikal atau paket batuan yang telah mengalami pembalikan.
4.6.2  Struktur Biogenik Lain
4.6.2.1  Tinjauan Umum
Setiap ahli sedimentologi hendaknya selalu waspada karena dia mungkin menemukan struktur sedimen yang terbentuk akibat aktivitas organisme, misalnya track, trail, dan lubang galian (burrow). Struktur biogenik (biogenic structures) sering ditemukan dalam beberapa tipe sedimen. Struktur itu muncul pada bidang perlapisan, baik bidang perlapisan atas maupun bidang perlapisan bawah, serta dapat terlihat pada bidang yang tegak lurus terhadap bidang perlapisan.
Meskipun telah diketahui keberadaannya sejak lama, namun pemelajaran yang sistematis terhadap struktur biogenik masih relatif baru. Sebagaimana stromatolit, para peneliti di masa lalu menganggap struktur biogenik sebagai fosil dan kemudian memberikan nama-nama generik dan nama-nama khusus untuk struktur tersebut. Sebagian struktur biogenik bahkan telah keliru disalahtafsirkan sebagai fosil tumbuhan. Berbagai penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini berhasil menyingkapkan khuluk yang sebenarnya dari struktur itu serta memperlihatkan bahwa struktur itu, baik geometri maupun ornamentasi mendetilnya, merupa-kan rekaman aktvitias organisme. Beberapa organisme dapat menghasilkan struktur yang sama, padahal organisme-organisme itu tidak memiliki kaitan biologi sama sekali. Pengetahuan yang kita miliki mengenai struktur biogenik banyak diperoleh dari hasil-hasil penelitian terhadap struktur biogenik masa kini sejalan dengan dilakukannya penelitian-penelitian terhadap lingkung-an sedimentasi masa kini. Penelitian-penelitian pionir penting yang berkaitan dengan struktur biogenik dilakukan oleh J. Walther pada suatu stasiun penelitian bahari di Teluk Naples serta oleh Rudolph Richter pada stasiun pengamatan Senckenberg-am-Meer di Laut Utara.
Dalam tulisan ini hanya akan disajikan sebuah ikhtisar yang sangat ringkas mengenai struktur biogenik. Penjelasan yang lebih mendetil mengenai iknofosil (ichnofossil) dapat diperoleh dari karya tulis Abel (1935), Krejci-Graf (1932), Lessertisseur (1955), Häntzschel (1962), Seilacher (1953, 1964a, 1964b), serta Crimes & Harper (1970).
Struktur biogenik berbeda dari fosil tubuh (body fossil) karena tidak akan terombakkan dan terendapkan-ulang. Meskipun struktur biogenik merekam aktivitas tertentu dari suatu binatang, misalnya kebiasaan membuat lubang galian atau cara makan, namun fosil itu terutama sangat bermanfaat untuk menentukan lingkungan dimana organisme itu hidup. Kumpulan “fosil jejak” (“trace fossil”) terbukti merupakan indeks yang sangat baik dari fasies sedimen dan kedalaman (gambar 4-15).
Fosil jejak juga memberikan informasi tentang laju sedimentasi dan merupakan penunjuk kadar racun di dasar suatu wilayah perairan. Fosil jejak juga terbukti sangat membantu dalam menentukan posisi stratigrafi pada lapisan-lapisan yang miring curam atau lapisan-lapisan yang telah terbalik.
4.6.2.2  Penggolongan
Fosil jejak dapat digolongkan dengan beberapa cara. Seilacher (1964a), misalnya saja, mengenal adanya lima kelas fungsional dari fosil jejak berdasarkan tingkah laku organisme pembuatnya. Kelima kelas itu adalah:
  1. Jejak istirahat (resting mark; Ruhrspuren; Cubichnia), yakni jejak dangkal yang dibuat oleh organisme mobil ketika ber-istirahat di dasar perairan.
  2. Jejak rangkakan (crawling trail; Kreichspuren; Repichnia), yakni jejak yang dibuat oleh organisme mobil ketika bergerak secara merangkak di atas massa sedimen.
  3. Jejak perlindungan (residence structure; shelter structure; Wohnbauten; Domichnia), yang pada dasarnya merupakan struktur permanen, biasanya berupa lubang galian yang dibuat oleh organisme mobil atau organisme yang hidupnya agak melekat pada sedimen. Lubang itu dibuat untuk melindungi organisme pembuatnya dari predator atau dari proses pengeruk-an sedimen.
  4. Struktur pencarian makan (feeding structure; Fressbauten; Fodinchnia), yakni lubang galian yang dibuat oleh organisme sesil pemakan sedimen. Struktur itu umumnya memiliki pola radial.
  5. Jejak rayapan (grazing trail; Weidespuren; Pasichnia), umumnya berupa jejak sinusoidal atau lubang galian organisme pemakan lumpur pada atau di bawah bidang batas sedimen-air.
Seseorang juga dapat menggolongkan struktur biogenik berdasarkan hubungannya dengan bidang perlapisan, geometrinya, atau berdasarkan ornamentasi atau struktur internalnya. Sebagian struktur biogenik hanya terbatas pada bidang perlapisan. Hal itu terutama berlaku untuk track dan trail. Bentuk dan pola struktur itu bervariasi, mulai dari jejak istirahat berukuran kecil, yang dibuat oleh organisme yang dapat berenang secara bebas, hingga jejak kaki dinosaurus. Struktur itu juga mencakup lekukan-lekukan menerus dan berkelok-kelok yang dibuat oleh organisme yang merayap di atas sedimen. Banyak jejak istirahat mem-perlihatkan simetri bilateral. Banyak trail juga memperlihatkan sifat bilateral karena binatang yang menghasilkannya memiliki simetri bilateral. Sebagian struktur biogenik bersifat kompleks sebagai hasil pergerakan anggota badan dan ekor.
Jejak rayapan juga merupakan struktur bidang perlapisan yang dengan pola yang beragam. Sebagian diantaranya berupa jejak sinusoidal; sebagian memperlihatkan keteraturan yang mengagumkan; sebagian berbentuk spiral; sebagian memperlihat-kan sinusoitas yang sistematis dan teratur (gambar 4-15), dan sebagian lain memperlihatkan jaringan poligonal (Paleodycton). Secara umum, jejak rayapan hanya terbentuk pada permukaan lumpur dan, oleh karena itu, hanya terawetkan sebagai cast pada bidang perlapisan bawah batulanau atau batupasir halus.
Struktur biogenik lain lebih jelas terlihat pada bidang yang lebih kurang tegak lurus terhadap bidang perlapisan. Sebagian struktur itu berbentuk tabung sederhana, misalnya Skolithus, sedangkan sebagian lain memiliki pola yang lebih kompleks. Banyak diantaranya berupa tabung berbentuk U. Lubang galian dapat tunggal maupun bercabang. Material pengisi lubang galian umumnya memiliki tekstur yang berbeda dengan batuan setempat dan dalam beberapa kasus proses pengisian ber-langsung secara berangsur dan menerus, namun dapat pula tidak berkesinambungan. Lubang galian sudah barang tentu dapat mencapai bidang batas sedimen-fluida. Pada struktur pencarian makanan, jejak-jejak pada bidang perlapisan dapat bersambung dengan lubang galian, biasanya menyebar dari lubang itu. Karenanya, struktur tersebut memiliki komponen lateral maupun komponen vertikal.
Sebagian besar lubang galian juga dapat terletak horizontal pada bidang perlapisan, bahkan dalam tubuh lapisan. Sebagian lubang galian melebar ke dalam hingga jarak sekitar 20 cm atau lebih, dari permukaan. Sebagian lain merupakan lubang galian dangkal.
Lubang galian dapat dikenal pada bidang yang memotong bidang perlapisan oleh perbedaan tekstur material pengisinya serta oleh batuan sampingnya, terutama oleh penghancuran perlapisan yang ditembusnya. Jika lubang galian cukup melimpah, hanya jejak-jejak samar dari bidang perlapisan asli saja yang masih dapat terlihat (Moore & Scrutton, 1957). Batuan itu mungkin “terjungkirbalikkan” atau “terbajak” oleh orgenisme. Bioturbasi (bioturbation) adalah istilah yang dipakai untuk menamakan aksi tersebut, sedangkan istilah bioturbit (bioturbite) digunakan untuk menamakan batuan yang dikenai oleh aksi itu (gambar 4-33).
4.6.2.3  Kebenaan Geologi
Struktur biogenik sangat bermanfaat untuk menentukan urut-urutan stratigrafi dalam paket batuan vertikal atau paket batuan yang telah mengalami pembalikan (Shrock, 1948). Banyak struktur biogenik terawetkan sebagai cast pada bidang perlapisan bawah batupasir.
Struktur biogenik juga dapat memberi petunjuk mengenai laju sedimentasi. Seilacher (1962) memperlihatkan bahwa lapisan-lapisan batupasir dalam sekuen flysch pada dasarnya merupakan endapan seketika. Jika tidak demikian, lubang-lubang galian akan dapat dimulai pada level yang berbeda-beda dari lapisan itu; bukan hanya dimulai dari puncak lapisan. Batupasir pada beberapa “Portege” sequence Devon di Pennsylvania memiliki laminasi yang demikian halus; lapisan lain yang berasosiasi dengannya terbioturbasi. Pasir berlaminasi yang tidak terganggu diendapkan dengan sangat cepat (paling lama hanya beberapa hari), sedangkan lumpur yang banyak dikenai aksi pembuatan lubang diendapkan bertahun-tahun, bahkan mungkin berabad-abad.
Ketidakhadiran lubang galian dan preservasi laminasi tidak selalu mengimplikasikan sedimentasi yang cepat. Hal itu mungkin mengimplikasikan penghambatan kehidupan bentos karena kondisi beracun akibat hadirnya H2S bebas atau akibat tidak adanya oksigen. Kumpulan fosil jejak juga dapat berkorelasi dengan salinitas (Seilacher, 1963).
Aspek paling bermanfaat dari kumpulan fosil jejak adalah sebagai dasar penunjuk fasies. Seilacher (1964a), misalnya saja, mendefinisikan empat fasies yang masing-masing dicirikan oleh kumpulan iknofosil tersendiri. Fasies Nereites, mencirikan cekungan flysch atau cekungan turbidit. Fasies Zoophycus mencirikan lingkungan perairan-dangkal, namun tenang. Fasies Cruziana menempati paparan dangkal. Fasies Skolithus pada dasarnya merupakan fasies pesisir berenergi tinggi. Lingkungan turbidit perairan-dalam (fasies Nereites) terutama dicirikan oleh jejak rayapan. Hal itu berbeda dengan lingkungan pesisir turbulen yang didominasi oleh lubang galian yang dibuat sebagai tempat perlindungan atau lubang galian yang dibuat dalam rangka mencari makanan. Morfologi fosil jejak sudah barang tentu mencerminkan organisme yang bertanggungjawab terhadap pembentukannya serta adaptasi organisme itu terhadap kondisi lingkungan.
Pendeknya, fosil jejak merupakan sebuah alat bantu yang sangat bermanfaat bagi para ahli sedimentologi. Sebagaimana aspek-aspek batuan sedimen yang lain, fosil jejak dapat dipetakan dan digunakan untuk mendefinisikan sabuk-sabuk fasies utama (Farrow, 1966) serta untuk membantu dalam menafsirkan perubahan-perubahan kedalaman (Seilacher, 1967).
4.7  STRUKTUR DIAGENETIK
Ada sekumpulan struktur—konkresi, nodul, dsb—yang terbentuk akibat pelarutan dan presipitasi pasca-pengendapan. Struktur epigenetik itu akan dibahas secara mendetil pada Bab 12.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites